About

Ini bukan blognya Emha Ainun Nadjib (cak nun). Hanya sekedar share karya-karya Emha Ainun Nadjib (cak nun)

Selasa, 24 April 2012

Hijrah dan Kultus Individu


Tidak ada satu peristiwa apa pun dalam kehidupan yang dihuni oleh manusia ini yang tidak bersifat hijrah. Seandainya pun ada benda yang beku, diam dan seolah sunyi abadi: ia tetap berhijrah dari jengkal waktu ke jengkal waktu berikutnya.

Orang jualan bakso menghijrahkan bakso ke pembelinya, dan si pembeli menghijrahkan uang ke penjual bakso. Orang buang ingus, buang air besar, melakukan transaksi, banking, ekspor impor, suksesi politik, revolusi, apapun saja, adalah hijrah.

Inti ajaran Islam adalah hijrah. Icon Islam bukan Muhammad,melainkan hijrah. Muhammad hanya utusan, dan Allah dulu bisa memutuskan utusan itu Darsono atau Winnetou, tanpa ummat manusia men-demo Tuhan kenapa bukan Muhammad. Oleh karena itu hari lahirnya Muhammad saw. Tidak wajib diperingati. Juga tidak diletakkan sebagai peristiwa nilai Islam. Hari lahir Muhammad kita ingat dan selenggarakan peringatannya semata-mata sebagai peristiwa cinta dan ucapan terima kasih atas jasa-jasanya melaksanakan perintah Tuhan.

12 Rabiul Awal bukan hari besar Islam sebagaimana Natal bag ummat Kristiani. Sekali lagi, itu karena Islam sangat
menghindarkan ummatnya dari kultus individu. Wajah Muhammad tak boleh digambar. Muhammad bukan founding father of islam. Muhammad bukan pencipta ajaran, melainkan pembawa titipan. Tahun Masehi berdasarkan kelahiran Yesus Kristus, sementara Tahun Hijriyah berdasarkan peristiwa hijrah Nabi, yang merupakan momentum terpenting dari peta perjuangan nilainya.

Kesadaran hijriyah menghindarkan ummat dari penyembahan individu, membawanya menyelam ke dalam substansi ajaran -- siapa pun dulu yang diutus oleh Tuhan untuk membawanya. Hijrah adalah pusat jaring nilai dan ilmu. Dari gerak dalam fisika dan kosmologi hingga perubahan dan transformasi dalam kehidupan sosial manusia. Manusia Muslim tinggal bersyukur bahwa wacana dasar hijrah sedemikian bersahaja, bisa langsung dipakai untuk mempermatang cara memasak makanan, cara menangani pendidikan anak-anak, cara mengurus organisasi dan negara.

Hijrah Muhammad saw. dan kaum Anshor ke Madinah, di samping merupakan pelajaran tentang pluralisme politik dan budaya, juga bermakna lebih esoterik dari itu.

Peristiwa Isra' Mi'raj misalnya, bisa dirumuskan sebagai peristiwa hijrah, perpindahan, atau lebih tepatnya
transformasi, semacam proses perubahan atau 'penjelmaan' dari materi ke (menjadi) energi dan ke (menjadi) cahaya.

BERAGAMA YANG TIDAK KORUPSI


Suatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong pertanyaan beruntun."Cak Nun", kata sang penanya, "misalnya ada waktu bersamaan tiba-tiba sampeyan menghadapi tiga pilihan,yang harus dipilih salah satu:
 pergi ke masjid untuk shalat Jumat, mengantar pacar berenang, atau mengantar tukang becak miskin ke rumah sakit akibat tabrak lari, mana yang sampeyan pilih?".
Cak Nun menjawab lantang, "Ya nolong orang kecelakaan". "Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?",kejar si penanya."Ah, mosok Gusti Allah ndeso gitu", jawab Cak Nun. "Kalau saya memilih shalat Jumat, itu namanya mau masuk surga tidak ngajak-ngajak" , katanya lagi. "Dan lagi belum tentu Tuhan memasukkan ke surga orang yang memperlakukan sembahyang sebagai credit point pribadi". Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga harus ditolong, Tuhan tidak berada di masjid, melainkan pada diri orang yang kecelakaan itu. Tuhan mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang. Kata Tuhan: kalau engkau menolong orang sakit,Akulah yang sakit itu.Kalau engkau menegur orang yang kesepian,Akulah yang kesepian itu.Kalau engkau memberi makan orang kelaparan,Akulah yang kelaparan itu. Seraya bertanya balik, Emha berujar, "Kira-kira Tuhan suka yang manadari tiga orang ini. Pertama, orang yang shalat lima waktu, membaca al-quran, membangun masjid, tapi korupsi uang negara.
Kedua, orang yang tiap hari berdakwah, shalat, hapal al-quran,menganjurkan hidup sederhana, tapi dia sendiri kaya-raya, pelit, dan mengobarkan semangat permusuhan. Ketiga, orang yang tidak shalat, tidak membaca al-quran, tapi suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang?" Kalau saya, ucap Cak Nun, memilih orang yang ketiga. Kalau korupsi uang negara, itu namanya membangun neraka, bukan membangun masjid. Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya bukan membaca al-quran, tapi menginjak-injaknya. Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya tidak sembahyang, tapi menginjak Tuhan. Sedang orang yang suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang, itulah orang yang sesungguhnya sembahyang dan membaca al-quran.
Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya. Standar kesalehan seseorang tidak melulu dilihat dari banyaknya dia hadir di kebaktian atau misa. Tolok ukur kesalehan hakikatnya adalah output sosialnya: kasih sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan dengan orang lain, memberi, membantu sesama. Idealnya, orang beragama itu mesti shalat, misa, atau ikut kebaktian, tetapi juga tidak korupsi dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih sayang. Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap. Semua agama tentu mengajarkan kesantunan, belas kasih,dan cinta kasih sesama. Bila kita cuma puasa, shalat, baca al-quran, pergi kebaktian, misa, datang ke pura, menurut saya, kita belum layak disebut orang yang beragama. Tetapi, bila saat bersamaan kita tidak mencuri uang negara, menyantuni fakir miskin, memberi makan anak-anak terlantar, hidup bersih, maka itulah orang beragama. Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan dari kesalehan personalnya, melainkan diukur dari kesalehan sosialnya.
Bukan kesalehan pribadi, tapi kesalehan sosial. Orang beragama adalah orang yang bisa menggembirakan tetangganya. Orang beragama ialah orang yang menghormati orang lain, meski beda agama. Orang yang punya solidaritas dan keprihatinan sosial pada kaum mustadh'afin (kaum tertindas).  Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya. Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap dan jiwa sosial tinggi. Bukan orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid, sementara beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan. Ekstrinsik Vs Intrinsik Dalam sebuah hadis diceritakan, suatu ketika Nabi Muhammad SAW mendengar berita perihal seorang yang shalat di malam hari dan puasa di siang hari, tetapi menyakiti tetangganya dengan lisannya. Nabi Muhammad SAW menjawab singkat, "Ia di neraka". 

Kamis, 22 Maret 2012

Dosa Struktural

cak nun.Dosa struktural dipahami sesudah diketahui dan dialami bahwa sesudah kehidupan ini dibangun dan dilaksanakan dengan menggunakan institusi yang bernama Negara, dengan susunan dan tatanan unsur-unsur kehidupan bermasyarakat - di bawah negara - yang dialektis dan terkait satu sama lain, bahkan ada keterkaitan komprehensif antara Negara dengan Negara, antara masyarakat dengan masyarakat. Fenomena globalisasi membuat inter-relasi antara Negara dan masyarakat di sebagai bidang menjadi hampir tak ada dindingnya lagi.

Kalau ada suatu Negara dijajah oleh Negara lain dan itu membuat masyarakat Negara yang dijajah itu menjadi miskin, tidak percaya diri dan serta tidak tertata hidupnya; dan kalau dalam Islam dikenal adagium "kaadal faqru an-yakuuna kufron", kemiskinan itu cenderung mendorong pelakunya ke perbuata-perbuatan kufur - maka tidakkah logis kalau disimpulkan bahwa para inisiator dan pelaku penjajahan itu turut bertanggung jawab atas kekufuran masyarakat yang dijajah? Bahkan lebih dari itu, tidak mungkinkah masyarakat penjajah menanggung dosa lebih besar karena justru merekalah penyebab utama kekufuran masyarakat yang terjajah?

Kalau dominasi produk budaya tertentu - umpamanya melalui media televisi -- membuat anak-anak kita rusak mentalnya, tidak terjaga iman dan jiwa religiousnya, bahkan lantas memiliki kebiasaan-kebiasaan hidup yang menjauhkannya dari Allah - apakah anak-anak kita yang paling besar menanggung dosanya, ataukah produser budaya itu yang akan lebih dihisab oleh Allah? Dan ini juga berlaku pada semua sektor kehidupan di mana pemegang mainstream pelaku destruksi-destruksi moral dan kemanusiaan. Anak-anak muda yang rusak hidupnya, yang nyandu narkoba, yang cengengesan karena tontonan-tontonan memang hanya mendidik mereka untuk cengengesan, yang kehilangan masa depan, yang tidak perduli pada kebenaran dan tidak menomer-satukan Tuhan - apakah mereka berdosa sendirian?

Rabu, 21 Maret 2012

Generasi Kempong


cak nun.Salah satu jenis kelemahan manusia adalah kecenderungan terlalu gampang percaya atau terlalu mudah tidak percaya. Masih mending kalau mau mengkritik: "Cak Nun tulisannya susah dipahami, harus dibaca dua tiga kali baru bisa sedikit paham."

Saya menjawab protes itu: "Anda kempong ya?"

"Kok kempong..maksudnya?"

"Kalau kempong ndak punya gigi, harus makan makanan yang tidak perlu dikunyah. Orang kempong ndak bisa makan kacang, bahkan krupukpun hanya di-emut. Kalau orang punya gigi, dia bisa menjalankan saran dokter: kalau makan kunyahlah 33 kali baru ditelan. Sekedar makanan, harus dikunyah sampai sekian banyak kali agar usus tidak terancam dan badan jadi sehat. Lha kok tulisan, ilmu, informasi, wacana - maunya langsung ditelan sekali jadi"
Teman saya itu nyengenges.

"Coba Anda pandang Indonesia yang ruwet ini. Wong kalau Anda mengunyahnya sampai seribu kalipun belum tentu Anda bisa paham. Segala ilmu sosial, ilmu politik, ilmu ekonomi dan kebudayaan mandeg dihadang keruwetan Indonesia. Ilmuwan-ilmuwan kelas satu saja kebingungan membaca Indonesia, lha kok Anda ingin mengenyam makanan tanpa mengunyah.

Yokopo se mbaaaah mbah! Sampeyan iku jik cilik kok wis tuwek..."

Kebudayaan kita instan. Mie-nya instan. Lagunya instan. Maunya masuk sorga juga instan. Kalau bisa, dapat uang banyak langsung, ndak usah kerja ndak apa-apa. Kalau perlu ndak usah ada Indonesia ndak apa-apa, ndak usah ada Nabi dan Tuhan juga ndak apa-apa, asal saya punya duit banyak.
Sedangkan Kitab Suci perlu kita baca terus menerus sepanjang hidup, itupun belum tentu memperoleh ilmu dan hikmah. Wong kita tiap hari shalat lima waktu rajin khusyuk sampai bathuk benthet saja belum tentu menemukan kebenaran. Wong naik haji sampai sepuluh kali saja belum dijamin akan memperoleh ridhollah. Lha kok sekali baca ingin mendapat kedalaman nilai, lha kok lagu-lagu pop diharapkan menawarkan kualitas hidup, lha kok menyanyikah shalawat dianggap sama dengan bershalawat atau melakukan shalawat.


Kalau Anda karyawan produksi televisi, Anda harus memperhitungkan harus bikin tayangan gambar yang sedetik dua dua detik nongol maka orang langsung senang. Penonton jangan dituntut untuk sedikit sajapun mendalami apa yang mereka tonton. Pokoknya kalau di depan TV sekilas pandang orang tak senang, ia akan langsung pindah channel.
Jadi bikinlah tayangan yang diperhitungkan sebagai konsumsi orang-orang kempong yang tidak memiliki kemampuan dan tak punya waktu untuk mengunyah, menghayati dan mendalami. Maka acara yang terbaik adalah joget, joget, joget.itu dijamin pasti langsung laku. Anda tak perlu berpikir tentang mutu kebudayaan, pendidikan manusia, sosialisasi nilai-nilai sosial atau apapun saja.

Baca koran juga dengan metodologi kempong. Generasi kempong tidak punya waktu dan tidak memiliki tradisi untuk tahu beda antara kalimat sindiran dengan bukan sindiran. Tak tahu apa itu ironi, sarkasme, sanepan, istidraj. Meskipun saya maling, asal saya omong seperti Ulama, maka saya dianggap Ulama.
 cak nun.

Senin, 19 Maret 2012

Benar Sendiri

cak nun.Ada tiga model kebenaran yang bisa kita temukan. Pertama, model kebenaran yang dipakai sendiri: benarnya sendiri (benere dhewe). Kedua, kebenaran yang diakui banyak orang (benere wong akeh), dan, ketiga kebenaran hakiki (bener kang sejati).

Sejak mendidik bayi sampai menjalankan penyelenggaraan negara, manusia harus sangat peka dan waspada terhadap sangat berbahayanya jenis kebenaran yang pertama. Artinya, orang yang berlaku berdasarkan benarnya sendiri, pasti mengganggu orang lain, menyiksa lingkungannya, merusak tatanan hidup bersama, dan pada akhirnya pasti akan menghancurkan diri si pelakunya sendiri.

Benarnya sendiri ini berlaku dari soal-soal di rumah tangga, pergaulan di kampung, di pasar, kantor, sampai ke
manifestasi-manifestasinya dalam skala sosial yang lebih luas berupa otoritarianisme, diktatorisme, anarkisme, bahkan pada banyak hal juga berlaku pada monarkisme atau teokrasi. Benarnya sendiri melahirkan firaun-firaun besar dalam skala negara dan dunia, serta memproduk firaun-firaun kecil di rumah tangga, di lingkaran pergaulan, di organisasi, bahkan di warung dan gardu.

Tidak mengagetkan pula jika benarnya sendiri juga terjadi di kalangan yang yakin bahwa mereka sedang menjalankan demokrasi. Ada seribu kejadian sejarah yang mencerminkan pandangan benarnya sendiri. Para pelaku demokrasi banyak menerapkan demokrasi berdasarkan paham benarnya sendiri tentang arti demokrasi itu. Orang yang selama berpuluh-puluh tahun diyakini sebagai seorang demokrat sejati, ditulis di koran-koran, buku-buku, digunjingkan di forum-forum nasional maupun internasional sebagai seorang demokrat teladan --ternyata pandangan-pandangan kolektif itu khilaf."cak nun.

Sabtu, 17 Maret 2012

Agama Kok Departemen


cak nun.KALAU kita memegang tongkat kekuasaan, di level mana pun, biasanya ada empat hal yang mengejar-ngejar hati kita, mengendalikan perasaan, mempengaruhi perilaku --dan akal pikiran diperbudak oleh desakan emosi itu, untuk berkonsentrasi pada keempat hal tadi.

Yakni, pertama, bagaimana supaya tidak kehilangan kekuasaan. Kedua, bagaimana bisa memperpanjang kekuasaan. Kedua hal ini melahirkan yang ketiga: bagaimana menghimpun modal sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya, agar kekuasaan bisa dipertahankan --siapa tahu tiba-tiba muncul angin badai yang mengguncang kita dari kursi. Juga muncul yang keempat: di samping menumpuk modal, juga harus peka pada setiap momentum untuk bisa cari muka kepada rakyat dan semua pihak dalam kehidupan bernegara.

Hal-hal mengenai kehidupan rakyat, itu soal gampang dan bisa disepelekan. Sudah terbukti, selama sekian periode kekuasaan, dan tampaknya kita yakin belum ada perkembangan mendasar pada rakyat --sehingga sampai beberapa tahun lagi, insya Allah, rakyat masih bisa dikibulin. Tidak ada infrastruktur apa pun pada sosiologi politik kerakyatan kita, yang mampu menghalangi proses mempertahankan kebodohan rakyat. Kalau ada satu-dua kelompok aktivis berpikir dan berteriak tentang revolusi, anggap itu refrein sebuah lagu --toh, akhirnya nyanyian harus kembali ke bagian awal.

Rakyat tidak punya modal apa pun untuk melakukan revolusi, kecuali direkayasa untuk menciptakan adegan yang seolah-olah revolusi, kemudian dilegitimasi oleh bagaimana media memotretnya. Prestasi puncak kita sebagai rakyat adalah amuk dan kerusuhan. Cobalah Anda melingkar dalam satu kumpulan yang plural, terdiri dari suku apa pun, agama dan kelompok apa pun, juga tingkat pendidikan dari yang paling rendah sampai paling tinggi. Lalu, masing-masing orang Anda kasih benda-benda yang bisa menghasilkan bunyi kalau dipukul, entah ember, kentongan, kayu, atau apa pun. Kalau Anda meminta mereka membunyikan benda-benda itu, hasilnya adalah kothekan, ritme-ritme pukulan seperti kuda lumping atau jaran kepang yang dikuasai suasana in-trance. Mabuk. ndadi, alias mengamuk.

Kalau seni tradisi Aceh, suasana ndadi-nya sangat solid, tapi rata-rata musik dan tari mereka berakhir dengan black-out. Progresivisme masyarakat Aceh hanya bisa berhenti dalam keadaan mendadak atau semacam dipaksa berhenti. Kesenian Jawa yang "bebudaya" tidak memiliki situasi ndadi yang progresif, terlalu tertata dan tidak revolusioner. Jawa yang progresif hanya yang "primitif", kuda lumping: seakan-akan itu entakan-entakan revolusioner, padahal sesungguhnya mengamuk.
cak nun.

Kamis, 15 Maret 2012

Rahasiakan Kenabianmu

cak nun.Al-Qiyadah kalah seram dibanding Al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar. Ahmad Mushaddeq, pemimpin aliran itu, menyatakan bahwa dirinya adalah rasul. Sedangkan Al-Hallaj menemukan "Akulah Kebenaran", dengan idiomatik bahwa Kebenaran, al-Haq, adalah Allah itu sendiri.

Perutusan para Wali menemui Siti Jenar untuk memanggil beliau menghadap pengadilan para Wali. Jenar, kabarnya, menjawab: "Syekh Siti Jenar tak ada. Yang ada Allah." Pulang balik, para utusan membawa "diplomasi" antara kedua belah pihak. Jawaban Jenar disampaikan dan utusan balik lagi kepada Jenar membawa kalimat: "Allah dipanggil menghadap para Wali." Jenar menjawab: "Allah tidak ada, yang ada Syekh Siti Jenar."

Proses berlanjut: "Allah dan Syekh Siti Jenar dipanggil menghadap para Wali." "Allah dan Syekh Siti Jenar tak ada, yang ada Syekh Siti Jenar dan Allah"....

Di puncak teater teologi-teosofi ini nanti Jenar dipenggal lehernya.

Wilayah ini memang rawan. Sering saya "nekat" menjawab pertanyaan banyak orang dengan upaya agar berkurang kerawanannya. Misalnya melalui karakterisasi Empat Khalifah:

Abu Bakar as-Shiddiq khalifah pertama itu manusia kultural: ia memandang sesuatu, mendekatinya, mengapresiasinya, belajar memahaminya, melakukan pendekatan kultural untuk mendekati kebenaran dan "menemukan Tuhan".

Umar bin Khattab manusia radikal: ia memerlukan semacam benturan untuk menemukan kebenaran dan menyadari kehadiran Tuhan. Utsman bin Affan manusia timbangan: tawazzun dengan rasio, kalkulasi, simulasi, untuk memperoleh resultan atau sintesis di titik tengah kebenaran Tuhan.

Ali bin Abi Thalib tidak memerlukan ketiga metode itu:kalau pandangan Ali hinggap pada daun, yang tampak olehnya adalah Allah, kalau bunyi menyentuh gendang telinganya yang terdengar olehnya adalah Allah. Ali tidak bisa menemukan apa pun kecuali Allah, karena selain Allah hanya seakan-akan ada-kelak para fisikawan dan biolog menggeremat menjelaskan itu.
Wujud ini, badan ini, fisik ini, besi atau daging dan apa pun, bahkan cahaya: itu bukan benda, melainkan sekadar simptoma yang untuk sementara disepakati sebagai benda. Kalau pakai persepsi linier kita menyimpulkan: bagi Ali gunung adalah Allah, sungai adalah Allah, dedaunan, debu, langit, kecebong dan gathul "adalah" Allah.
 cak nun.

Minggu, 11 Maret 2012

Aturan Perampok untuk Pengemis


cak nun.Sejak zaman muda masih kos dulu, saya memang tidak suka ngasih apa - apa kepada pengemis. Alasan saya dua: Pertama, saya tidak setuju sehingga tidak suka bahwa manusia kok mengemis. Kedua, kalau ada orang mengemis kepada saya, selalu saya merasa terganggu, bahkan terteror. Sejak beberapa puluh meter sebelum saya berpapasan dengan orang itu, sudah terbersit di hati bahwa saya akan memberinya uang.

Tapi, ketika mendekat lantas dia menadahkan tangan mengemis kepada saya, terus terang saya langsung drop kehilangan semangat untuk memberi.

Saya ini berniat memberi, jangan dimintai. Kalau memberi karena diminta apa hebatnya, tapi kalau tidak diminta kita tetap memberi: itu baru nikmat.

Tak ada hak saya untuk tidak suka kepada pengemis atau kepada siapa dan apa pun saja, karena mereka semua ciptaan Tuhan --mana berani saya tak menyukai karya Allah. Dalam menjalankan kehidupan ini, untuk perjalanan pribadi, keluarga, grup, kelompok, komunitas, dan apa pun yang terkait dengan pribadi saya, sungguh-sungguh tidak boleh ada pengemisan, proposal, iklan, promosi, menawarkan diri, mengajukan diri, mencalonkan diri, atau apa pun saja yang ada frekuensi kepengemisannya.
Tuhan menghijrahkan saya diangkut oleh kelompok musik Kiai Kanjeng ke lebih dari 30 kota besar dunia tanpa didahului melamar, memamerkan diri, "Ini kami, hebat lho...!", proposal, atau apapun, juga tanpa sponsor. Yang berlangsung hanya empati nilai, perhubungan kemanusiaan, kemesraan persaudaraan, persambungan ilmu, penyatuan cinta. Adapun uang, fasilitas, dan maintenance setiap perjalanan hijrah hanya sertaan otomatik dari gairah kasih sayang kehidupan.

Kita hidup karena disuruh hidup oleh Yang Berhak (Haqq). Saya berjalan karena diperkenankan berjalan oleh yang layak logis legal untuk memperkenankan saya berjalan. Nikah, hamil, beranak-pinak karena penyatuan cinta, bukan melamar dan dilamar. Saya tidak sanggup merencanakan dan melamarkan apa-apa atas kehidupan. Tidak ada karier, tidak ada masa depan, yang ada hanya perkenan: kalau di depan hidung disodorkan sawah, kita mencangkul, mempelajari tanah, sawah, tanaman, cuaca, musim.

Tak ada permusuhan, yang ada hanya kasih sayang yang melahirkan perkenan. Yang berkenan adalah yang memiliki Haqq untuk memperkenankan. Masuk lumpur Sidoarjo tidak karena membela rakyat atau siapa pun, tapi karena didatangi mandat tertulis hitam atas putih legal formal, dan melangkah hanya sebatas koridor pemandatan -- persis sebagaimana hidup ini sendiri. Kalau telah tiba kaki di batas maut, kematian sungguh tak pernah menunggu dilamar, sehingga kehidupan pun berlangsung tidak karena dilamar.
 cak nun.

Sabtu, 10 Maret 2012

Mencekik Orang Sesat


cak nun.DALAM wacana sejarah umat manusia, yang saya tahu hanya ada satu orang yang melakukan tindakan kriminal, bahkan pembunuhan, yang tanpa kausalitas sosial dan tidak dalam situasi peperangan-namun dilegitimasi sebagai kebenaran,bahkan oleh Tuhan.Ialah Nabi Khidhir, salam Allah untuknya.Pernah bersama Kiai Kanjeng saya ngrasain duduk di tempat Nabi Musa duduk uzlah bertapa, puncak Gunung Tursina atau Jabal Musa,8 jam perjalanan dari Gereja Catherine, naik dua kali separuh lingkaran gunung, baru tancap ke puncak pengembaraan murid Khidhir itu.Tak ada alinea untuk mengisahkan dahsyatnya gunung itu serta peristiwa amat monumental yang pernah dikandungnya antara Musa dengan Allah sendiri.Tetapi intinya, di puncak gunung itu, sesudah Musa dipingsankan oleh Tuhan gara-gara tak sanggup memandang wajah- Nya, ia diperintah turun gunung kemudian jalan kaki sejauh sekitar 1.300 km agar berjumpa dengan Kanjeng Khidhir, calon profesornya.Panjang cerita tentang sok pintarnya Musa ini. Maka ia pun harus di-plonco oleh Pendekar Segala Pendekar. 

Dan begitu Musa sowan kepada beliau yang wajahnya ditabiri kerudung itu, Musa dipersyarati "Silakan ikut aku, tapi jangan bertanya apa-apa!" Semua orang Islam tahu kejadian- kejadian antara mereka berdua.Khidhir membocorkan kapal yang mereka naiki, kemudian mencekik anak kecil, terakhir menegakkan pagar rumah seseorang.Ketiga-tiganya Musa tidak lulus. Musa bertanya terus: kenapa kapal dibocorkan, kok anak itu beliau bunuh, wong nggak disuruh dan nggak dibayar kok mau-maunya memperbaiki pagar itu. Tentulah bukan karena Musa murid yang jelek. Beliau bertanya karena begitulah naluri beliau sebagai pejuang kebenaran, sebagai aktivis heroik, sebagai penegak HAM, dan pasti juga karena memang demikianlah kewajiban seorang Rasul.Seandainya tiga tindak kriminal Khidhir itu terjadi di wilayah NKRI,pasti beliau sudah ditangkap oleh petugas kepolisian. 

Minimal menjadi buron, terutama karena membunuh anak kecil. Menariknya, karena atas kasus Khidhir, "Komisi Orang Hilang" beserta seluruh LSM, insya Allah kompak dengan pihak pemerintah.Saya tidak memperoleh data apakah anak kecil itu bernama Munir atau bukan. Kalau benar Munir, pasti complicated karena Khidhir jelas bukan bagian dari kekuasaan, wilayah polisi modal, atau jaringan intelijen Kerajaan Fir'aun. Tapi pasti pembunuhan Khidhir atas anak kecil itu sangat ramai menghiasi media massa. Pasal utamanya karena pihak yang terbunuh itu bukan bagian dari golongan Islam.Kalau ada seribu orang Islam dibunuh,itu bukan berita, dibanding satu orang bukan Islam dibunuh. Lebih berita lagi kalau orang Islam yang membunuh. Seperti ada perjanjian dan logika tak tertulis bahwa kalau pihak Islam membunuh, itu pelanggaran HAM.Sebaliknya kalau pihak Islam dibunuh, bukan pelanggaran HAM.Masalahnya, di zaman Khidhir ini kata Islam belum populer,belum menjadi ikon negatif seperti sekarang, serta belum menjadi kambing hitam dari berbagai kesalahan berat pelanggaran HAM, pembangunan senjata pemusnah massal, lambang ketertinggalan, kebodohan, kemiskinan,dan kekumuhan.Secara yuridis, mudah menjaring Baginda Khidhir karena bukan bagian dari struktur kekuasaan Fir'aun.
cak nun.

Kamis, 08 Maret 2012

Buron dan Kambing Terjepit


cak nun."CAK,aku bukan buron.Semua kewajiban saya kepada keuangan negara sudah saya bayar. Bersama ini saya kirimkan berkas-berkas data yang membuktikan hal itu.

Saya numpang hidup sementara di luar negeri memang karena saya lari, tetapi bukan lari sebagai buron, meskipun pengetahuan publik terhadap saya adalah buron." "Saya lari dari para pemeras, dari mereka yang berlagak menegakkan hukum, tetapi sesungguhnya mengail di air keruh.

Memeras kami sekeluarga terusmenerus, dari hari ke hari, siang dan malam. Aku lemah, sekarang istri saya yang menghadapi pemerasan-pemerasan itu tiap hari." "Kalau Pak Presiden menjamin bahwa saya, keluarga, dan perusahaan-perusahaan saya aman dan terlindung dari tindak pemerasan para pagar pemakan tanaman, sekarang juga saya balik ke kampung halaman.Karena meskipun potongan dan wajah saya tidak memenuhi syarat citra nasionalisme,tetapi saya cinta Indonesia.."

"Cak,Pasar Turi terbakar sebanyak 4 kali: 1. Tahun 1969, 2. Tahun 1978, 3. Tanggal 26 Juli 2007,4.Tanggal 9 September 2007.Yang ke-3 dan ke-4, oleh Kapolda Jatim, dinyatakan dibakar. Namun, kami para pedagang tidak atau belum mendengar ada proses hukum yang menuju ke peradilan atas pihak yang membakar.

Cak,bagaimana logika konstitusionalnya kalau kepala polisi bilang itu dibakar, tapi kemudian tak ada proses hukum.Apakah polisi bisa disebut telah menyebarkan kebohongan kepada publik? Ataukah pihak pembakar adalah kakap raksasa ekonomi dan politik sehingga lembaga keamanan negara tidak bisa berbuat apa-apa kepadanya? Bagaimana kami orang kecil memasukkan hal seperti itu ke dalam nalar kepala kami? Apa lama-lama tidak pecah kepala ini?"

"Pada peristiwa dibakar terakhir, kerugian yang bisa dicatat : 1. Dari total 2.350 stan yang terbakar, kerugian barang dagangan diperkirakan sekitar Rp1,7 triliun. 2. Dari total stan yang tidak terbakar, di lokasi tahap II tidak dapat berjualan kembali hingga saat ini. 3. Dalam kondisi normal, omzet perputaran transaksi perdagangan di Pasar Turi mencapai sekitar Rp30 miliar per hari. Sementara dalam kondisi pemulihan yang sangat lamban seperti saat ini dan telah berlangsung selama tiga bulan, dapat dibayangkan berapa rupiah yang hilang." *****

"Cak,kami para pedagang tidak menuntut yang aneh-aneh. Cak Nun mengatakan di Forum Bangbang Wetan Surabaya bahwa sahibul bait atau tuan rumahnya sawah adalah petani, tuan rumahnya laut adalah nelayan, tuan rumahnya pasar adalah para pedagang. Kami hanya berpendapat bahwa sebagai penghuni dan tuan rumah utama di Pasar Turi, kami berhak disertakan sebagai salah satu subjek dalam proses pengambilan keputusan atas pembangunan pasar kembali oleh Pemkot Surabaya."

"Tetapi sampai hari ini, Wali Kota Surabaya Bambang DH tidak mau sekadar bertemu atau bertatap muka pun dengan kami para pedagang. Jangankan melibatkan kami dalam perundingan. Saya mendengar Cak Nun mencoba menempuh berbagai hal ke Depdagri sampai Mendagri, agar hak-hak pedagang itu memperoleh perhatian, tetapi tidak ada tanggapan apa pun.

Bahkan, pejabat Depdagri minta kami para pedagang membuat surat lamaran agar beliaubeliau hadir ke Pasar Turi.Cak Nun mengatakan kalau ada kambing terjepit di antara dua batu besar, mestinya pamong desa punya mekanisme untuk tahu ada kambing terjepit, kemudian bersegera melakukan sesuatu untuk menolong kambing itu. Tetapi di Indonesia kambing terjepit harus menulis surat lamaran agar pamong desa datang kepadanya."
cak nun.

Rabu, 07 Maret 2012

Indonesia, Dauri, Buto Kempung


cak nun.Betapa tak terhitung jumlah bahasa di negeri kita, sehingga betapa rawan pula itu semua dari disinformasi dan diskomunikasi. Bahasa Indonesia saja ada tiga macam: bahasa Indonesia yang baik, yang benar dan yang enak.Berapa puluh ribu pula bahasa etnik, dengan ratusan ribu macam dialeknya.

Bahasa Indonesia yang seolah-olah merupakan bahasa kesatuan itu terbagi lagi menjadi bahasa politik, bahasa birokrasi, bahasa hukum, bahasa dagang, bahasa ilmuwan, bahasa seniman, bahasa artis, bahasa pasar, bahasa wadam, bahasa preman, juga bahasa prokem yang juga punya unikum sendiri-sendiri di setiap daerah – ditambah lagi berkembang secara dinamis dari generasi ke generasi.

Ambil satu contoh: bahasa preman. Itupun harus dikhususkan segmentasinya, sebab kode-kode bahasa preman di Medan lain dengan Makassar atau daerah lainnya. Preman, Gali, Jeger…Kita ambil saja jaringan yang berasal dari Jawa Timur dan Jawa Tengah – yang wilayah operasinya sampai meluas, bahkan di Jakarta memiliki ‘propinsi kekuasaan’nya sendiri – meskipun tetap harus diingat bahwa ada berbagai variasi-variasi bahasa di antara mereka dalam jaringan yang sama.
Di wilayah jaringan itu kalau dompet atau jam tangan Anda mau dicopet, atau koper Anda di kereta atau tas Anda di bis disentuh oleh tangan jahil – Anda bisa bisikkan kepada yang bersangkutan: “Ssssst!…Dauri, Dauri…”. Sahabat baru Anda itu akan tersenyum kecut atau salah tingkah atau bahkan ketakutan kepada Anda.

Dauri bisa berarti teman sendiri, atau sekaligus menginformasikan tentang seorang preman yang sudah mapan, senior, sehingga tidak tampak, berperilaku priyayi namun sudah makan asam garam dunia perjegeran. Dengan Anda bisikkan kode elite itu, berarti ia mayak : ketahuan. Maka ia diam-diam berterima kasih kepada Anda. Sebab kalau ia mayak oleh Mbakyu – alias polisi – maka ia kagep. Ditangkap.

Sahabat baru Anda yang tak jadi menjahati Anda itu mungkin seorang Gondes, preman pendatang baru yang masih elementer tingkat pembelajarannya. Atau dia seorang Bleksor, yang sudah cukup punya kemampuan dan sedang aktif-aktifnya di jalanan. Tapi kalau yang menjahati Anda adalah jenis Buto Kempung, penjahat picisan yang dungu ; atau apalagi sekaligus ia juga Buto Mubal – Anda mungkin harus punya kejantanan untuk bertindak kongkret secara fisik. Buto Mubal itu ideologinya ngeyel, salah benar membandel dan melawan. Sudah jelas Anda yang dijahati, malah dia komsemo, mempertengkari Anda seolah-olah Anda pencurinya. Di Jawa Timur, seorang pemuda motornya dicuri, malah diteriaki maling, ia dikejar-kejar massa dan dibakar hidup-hidup.

Juga Anda pasti kalah kalau kepergok Buto Mati. Ini pakar pencuri. Takaran yang diincarnya mahal, namun ia punya kemampuan untuk sama sekali tidak berjejak dan tidak ketahuan. Anda pasti tahu bahwa era reformasi sekarang ini masih punya PR yang menyangkut ratusan, mungkin ribuan Buto Mati – yang di jaman Orba dulu menjadi tonggak kecurangan kekuasaan sambil ngempleng – korupsi – habis-habisan, tapi tetap aman dan leha-leha sampai hari ini, bahkan masih diwawancarai oleh media massa.

Para koruptor yang selamat, yang bahkan tidak kehilangan eksistensi dan nama baik – dijuluki oleh sebagian masyarakat sebagai Kiai Bejo. Ada rumus: orang pandai kalah oleh orang kuat, orang kuat kalah oleh orang kuasa, orang kuasa kalah oleh orang kaya, orang kaya kalah oleh orang gila, orang gila kalah oleh orang bejo – beruntung.
cak nun.
Berbagai kasus korupsi dikamuflase dengan metode Ges: tukar barang, tukar otoritas, administrasi ganda, retorika birokrasi – tanpa ketahuan. Dan ternyata orde sesudah reformaso tidak kalah orba disbanding orba. Pencurian kayu hutan di sebuah kabupaten Jawa Tengah meningkat 300% sesudah Orba.

Orba adalah periode monopoli pencurian. Berikutnya adalah desentralisasi korupsi. Di jaman Orba iblisnya jelas, sesudahnya iblis setan berpakaian malaikat. Perusahaan-perusahaan besar di jaman orba kalau harus kasih upeti, nomer rekeningnya jelas untuk dikirim tiap bulan. Di jaman berikutnya, pembawa-pembawa rekening datang ke kantor perusahaan tak terbatas jumlahnya, sesudah menagih selalu ada lagi yang menagih: yang minggu lalu utusan pimpinan wilayah, hari berikutnya pimpinan daerah, esok paginya pimpinan cabang, kemudian ranting, kemudian satgasnya, kemudian keponakannya, kemudian temannya anaknya menantu tetangganya Pak Anu. Terkadang saya memohon : Ya Tuhan, hendaklah negeriku ini dipimpin oleh Firaun atau Hitler, supaya jelas peperangannya.

Reog-reog, perampok-perampok besar, tetap merajalela di segala kelas. Sudah sangat pandai me-lier: alias money laundring. Sangat banyak yang siap menjadi LB: tukang tadah pengatas-namaan rekening. Modus kejahatan resmi sudah dilakukan tanpa temi, tanpa waja, tanpa ja’tema: tanpa ragu atau takut sedikitpun. Hasil rampokan sistemiknya kabir, bahkan kabir get. Sangat sangat besar.

Teman-teman jual barang klitikan atau loakan saja sangat sepi transaksi, tapi mobil-mobil mewah meluncur kesana kemari, rumah-rumah istana kosong di sana sini, dihuni oleh keluarga yang dibayar oleh si empunya rumah. Uang yang beredar di lapis menengah ke bawah entah kenapa menjadi sangat sedikit. Anak-anak kita nekad melakukan tem-teman atau njambret, memelototi kentus atau dompet, meng-garbol alias mengambil barang dari tas, atau kalau sepi ‘transaksi’ juga ya ngecut – ambil apa saja sekenanya. Bisa botol alias handphone, atau mal-malan, merebut pakaian orang. Apa boleh buat kalau memang harus di-sartek, ditahan, dan masuk sarbekan, LP….

Masyarakat eksklusif pemakai bahasa ini bukanlah orang-orang besar macam AlCapone, Corleon, atau Raja Judi yang menguasai seluruh kota, membungkam para pejabat dengan tumpukan leseh, yang bisa menginisiatifi ruislag gedung ini atau tanah itu dan diberi pembenaran hukum oleh petugas hokum. Bukan. Para preman yang saya bicarakan ini adalah para ‘penanggung dosa’ dari perilaku kejahatan ‘atasan’ mereka: perampok-perampok struktural. Mereka harus rutin ng-leseh ke atas. Dan kalau jumlahnya tidak memenuhi kehendak ‘atasan’nya – mereka diborgol dan diumumkan kejahatannya. Di Koran ditulis: ditembak kakinya karena melarikan diri.

Komunitas mereka ini memiliki tipologi kepribadiannya sendiri, dengan jenis kesetiaan dan model kebaikan hatinya sendiri. Kalau kita pandang sepenggal, mereka adalah penjahat. Kalau kita pakai kamera long-shoot, mereka memiliki posisi ketertindasannya sendiri. Mereka juga memiliki modus amarah tersendiri, yang jika diorganisir bisa menjadi ledakan dan siksaan social.
cak nun.

KONSUMERISME : Ular-ular Sihir Yang Dilawan Musa


cak nun.Konsumerisme ialah keadaan di mana mekanisme konsumsi sudah menjadi bagian yang substansial dari kehidupan manusia. 'Bagian substansial' maksudnya bagian kehidupan yang seolah-olah dianggap 'wajib' atau tidak lagi ditinggalkan. Jadi, konsumsi sudah menjadi 'isme', sudah menjadi atau berlaku sebagai semacam 'agama'.

Keberlangsungan konsumerisme ditentukan ketika nilai dan potensi kreativitas manusia atau masyarakat dikapitalisir, dijadikan alat pemenuhan kebutuhan yang dijualbelikan.

Konsumerisme sesungguhnya sekaligus merupakan kasus ekonomi, kasus budaya, bahkan bisa dilatari atau ditujukan untuk proses-proses politik. Oleh karena itu konsumerisme sebenamya bisa memiliki sisi yang bermacam-macam: ada konsumerisme dalam bidang pendidikan (sebutlah umpamanya 'konsumerisme etos-etos akademik'), ada konsumerisme terkandung dalam alam kehidupan beragama (umpamanya ummat menuntut mubaligh tertentu yang bisa memenuhi selera budaya mereka berdasarkan situasi sejarah), serta ada berbagai sisi konsumerisme yang lain.

Kita bisa memahami konsumerisme dari bermacam cara pendekatan. Narnun tidak aneh sama sekali, bahwa Al-Qur'an sejak semula telah menyediakan semacam cara pandang atau metoda untuk memahaminya.

Misalnya, dalam konflik terbuka antara Musa melawan Fir'aun yang didampingi oleh para sihir bayarannya, diakhiri dengan "duel kekuatan" antara mereka. Lihatlah Surah Thaahaa ayat 65 hingga 69 saja. Para penyihir sewaan Fir'aun berkata, "Wahai Musa! engkaulah yang terlebih dahulu melemparkan, ataukah kami?"

Musa menjawab, "Silahkan kamu sekalian melemparkan!" Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat para penyihir itu - terbayang pada mata Musa menjadi ular-ular kecil yang amat banyak, merayap-rayap ke segala penjuru.

Sehingga Musa merasa takut di dalam hatinya. Kami (Allah) berkata: "Janganlah kamu takut, karena sesungguhnya kamulah yang lebih unggul". Lebih benar, mulia. "Dan lemparlah apa yang ada ditangan kananmu, niscaya ia akan menelan apa saja yang mereka perbuat.

Sesungguhnya apa yang mereka perbuat itu adalah merupakan tipu daya sihir belaka. Dan itu tidak akan menang, dari mana pun, mereka datang".

Allah Maha Mengerti segala isi waktu. Konteks cerita mengenai Nabi Musa as. Itu tidak terbatas pada situasisituasi kejahiliyahan jarnan Fir'aun: ia tidak mustahil berlaku bagi keadaan-keadaan lain di kurun waktu kapan pun, sebelum atau sesudah Fir'aun. Ia juga bisa berlaku pada diri kita hari ini: karena bukankah bahkan seringkali kita menjurnpai diri sedang harus belajar "menyebut nama-nama benda" seperti Adam as, yakni ketika kita harus membenahi kembali pengertian-pengertian kita tentang nilai, alam, benda, dan segala apapun dalam kehidupan kita?
cak nun.

Sabtu, 03 Maret 2012

Jejak Tinju Pak Kiai

cak nun.ANDAIPUN di seluruh Indonesia tak ada lagi koruptor di segala level dan lini, tak ada kejahatan, keserakahan, maksiat atau segala macam nilai kacau lainnya, tidak serta-merta bangsa kita akan menjadi selamat atau apalagi pasti mengalami kemajuan.

Baik buruk, jahat tak jahat, bukan satu-satunya faktor penentu nasib manusia. Dimensi dasar nilai hidup manusia adalah baik dan buruk, benar dan salah, indah dan tidak indah, sebenarnya belum cukup. Masih ada dimensi mendasar lainnya, belum lagi variabel-variabel dan detailnya. Ada ratusan terminologi.

Ada orang mengucapkan sesuatu dan melakukannya. Ada orang mengucapkan, tapi tak melakukan. Ada yang melakukan, tapi tak mengucapkan. Ada yang tak mengucapkan dan tak melakukan, dengan berbagai variabelnya.

Ada orang yang tahu sedikit tentang sedikit hal. Ada orang tahu banyak tentang sedikit hal. Ada orang tahu sedikit tentang banyak hal. Ada yang tahu banyak tentang banyak hal - dengan berbagai variabelnya.

Ada orang mengkritik dan memberi jalan keluar. Ada orang mengkritik, tapi tak bisa memberi jalan keluar. Ada orang memberi jalan keluar tanpa mengkritik. Ada orang tidak mengkritik dan tidak memberi jalan keluar, dengan berbagai variabelnya.

Ada orang berjuang, berteriak-teriak, dan melaksanakan perjuangannya. Ada orang berjuang, tidak berteriak tapi mewujudkan perjuangannya. Ada orang berjuang dan tidak sibuk mengumumkan di koran bahwa ia berjuang, karena teriakan mengganggu strategi perjuangannya. Ada orang berteriakteriak tapi tidak berjuang. Ada orang yang tidak berteriak-teriak dan tidak berjuang, dengan segala variabelnya.

Ada orang yang mengerti dan mengerti bahwa dia mengerti. Ada orang mengerti tapi tidak mengerti bahwa dia mengerti. Ada orang yang tidak mengerti tapi mengerti bahwa dia tidak mengerti. Ada orang yang tidak mengerti dan tidak mengerti bahwa dia tidak mengerti, dengan segala variabelnya.

Ada orang berdagang dan memusatkan diri pada pelayanan terhadap pelanggannya. Ada orang berdagang sibuk pada apa mau dia terhadap pelanggan sehingga lupa apa maunya pelanggan. Ada pedagang yang tidak peduli-peduli amat pada kemauan pelanggan dan tidak konsentrasi pada apa mau dia sendiri dalam berdagang, dengan segala variabelnya.

Ada orang perang dengan berbekal semangat dan keyakinan untuk menang, dengan menghitung cuaca, medan, dan musuh. Ada orang perang sangat teliti menyelidiki kekuatan cuaca, medan, dan musuh sehingga tidak sempat menghitung kekuatan dan kelemahan sendiri. Ada orang perang sibuk membanggakan kehebatannya sehingga merasa tidak perlu memperhitungkan lawan. Ada orang perang yang atas musuh tak berhitung dan atas dirinya sendiri juga tak berhitung, dengan segala variabelnya.

Ada orang yang sangat khusyuk dengan prinsip dan idealismenya dan sangat sungguh-sungguh memikirkan strategi terapan prinsipnya. Ada orang yang total pegang prinsip sampai tak punya energi dan waktu untuk memikirkan bagaimana menerapkannya. Ada orang yang habis usianya untuk tata kelola dan tata terapan sampai tidak ada prinsip yang tersisa di dalam dirinya. Ada orang yang tak peduli pada prinsip dan tak sungguh-sungguh melaksanakan apa pun, dengan segala variabelnya.
cak nun.

Tidak Usah Memperhatikan Istri Tetangga Sexi atau Tidak


cak nun.Dalam suatu forum saya bertanya"Apakah anda punya tetangga?".
Dijawab serentak "Tentu punya"
"Punya istri enggak tetangga Anda?"
"Ya, punya doooong"
"Pernah lihat kaki istri tetangga Anda itu?"
"Secara khusus, tak pernah melihat " kata hadirin di forum
"Jari-jari kakinya lima atau tujuh? "
"Tidak pernah memperhatikan"
"Body-nya sexy enggak?" Hadirin tertawa lepas.

Dan saya lanjutkan tanpa menunggu jawaban mereka "Sexy atau tidak bukan urusan kita, kan? Tidak usah kita perhatikan, tak usah kita amati, tak usah kita dialogkan, diskusikan atau perdebatkan. Biarin saja".

Keyakinan keagamaan orang lain itu ya ibarat istri orang lain. Ndak usah diomong-omongkan, ndak usah dipersoalkan benar salahnya, mana yang lebih unggul atau apapun. Tentu, masing-masing suami punya penilaian bahwa istrinya begini begitu dibanding istri tetangganya, tapi cukuplah disimpan didalam hati.

Bagi orang non-Islam, agama Islam itu salah. Dan itulah sebabnya ia menjadi orang non-Islam. Kalau dia beranggapan atau meyakini bahwa Islam itu benar, ngapain dia jadi non-Islam? Demikian juga, bagi orang Islam, agama lain itu salah. Justru berdasar itulah maka ia menjadi orang Islam. Tapi, sebagaimana istri tetangga, itu disimpan saja didalam hati, jangan diungkapkan, diperbandingkan, atau dijadikan bahan seminar atau pertengkaran.

Biarlah setiap orang memilih istri sendiri-sendiri, dan jagalah kemerdekaan masing-masing orang untuk menghormati dan mencintai istrinya masing-masing, tak usah rewel bahwa istri kita lebih mancung hidungnya karena Bapaknya dulu sunatnya pakai calak dan tidak pakai dokter, umpamanya.

Dengan kata yang lebih jelas, teologi agama-agama tak usah dipertengkarkan, biarkan masing-masing pada keyakinannya.
cak nun. 

Jumat, 02 Maret 2012

Indonesia Jangan Sampai Besar


cak nun.INDONESIA adalah bangsa besar. Tanda kebesarannya antara lain lapang jiwanya, sangat suka mengalah, tidak lapar kemenangan dan keunggulan atas bangsa lain, serta tidak tega melihat masyarakat lain kalah tingkat kegembiraannya dibanding dirinya.

Dari lingkaran katulistiwa, Indonesia memiliki 12,5%, dan itu lebih dari cukup untuk menguasai akses angkasa, satelit dan wilayah otoritas politik maupun perekonomian informasi dan komunikasi. Kita adalah a big boss industri teknologi informasi sedunia. Tapi kita sangat rendah hati dan mengalah. Kita tidak tega kepada "negara kecamatan" bernama Singapura, sehingga kekayaan kita itu kita sedekahkan kepada tetangga kecil itu.

Keluasan teritorial dan kesuburan bumi maupun lautan, kekayaan perut bumi, tambang-tambang karun, keunggulan bakat manusia-manusia Indonesia, pelajar-pelajar kelas Olimpiade, kenekatan hidup tanpa manajemen, ideologi bonek, jumlah penduduk, kegilaan genetik dan antropologisnya, dan berbagai macam kekayaan lain yang dimiliki oleh "penggalan sorga" bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia – sungguh-sungguh merupakan potensi yang tak tertandingi oleh negara dan bangsa mana pun di muka bumi. Tetapi, sekali lagi, kita adalah bangsa yang lembut hati dan jauh dari watak "raja tega". Kekayaan-kekayaan itu kita persilakan dikenduri oleh industri multinasional dan orang-orang serakah: emasrojo brono diangkuti tiap hari ke mancanegara. Dan itu bukan kekalahan, itu adalah kebesaran jiwa.

Kita bangsa yang kaya raya karena amat sangat disayang Tuhan sehingga kita pesta sedekah dan infak. Rakyat kebanyakan ikhlas menderita karena memilih surga dan toleran kepada sejumlah minoritas yang memang memilih neraka. Itu terkadang rakyat ikut rakus sedikit-sedikit, dengan pertimbangan tak enak atau pekewuh kalau kita dari dunia langsung masuk surga tanpa menengok saudara-saudara kita yang di neraka. Tak baiklah itu. Apa salahnya kita mampir juga beberapa saat di neraka, ngerumpi dengan handai tolan di sana.

Pada suatu hari, TVRI, RRI, TNI, Polri, dan berbagai mesin rumah tangga negara kita sewakan atau jual kepada tetangga.

Berikutnya kita bercita-cita tak usah repot-repot menghabiskan ratusan miliar untuk pemilihan presiden. Kita bisa mengontrak tokoh manajemen dunia untuk memimpin negeri kita. Juga menteri-menteri kita kontrak dari luar negeri, sebagaimana para pemain sepak bola. Dan puncaknya kelak, MPR bisa mengambil keputusan untuk bikin proposal memohon kepada Kerajaan Belanda agar berkenan memimpin kita lagi. Bangsa kita adalah bangsa filosof. Kalau presiden kita kontrakkan dari Belanda atau terserah negeri maju manapun kita persilakan memimpin, itu tidak berarti kita berada di bawah mereka. Dalam teori demokrasi, rakyat selalu tertinggi, presiden dan kabinet hanya orang yang kita upah dan harus taat kepada kita.

Jadi, sesungguhnya bangsa Indonesia tetap di atas. Sebagaimana seorang Imam shalat diangkat oleh makmumnya, imam pada hakikatnya harus taat kepada makmum. Yang memilih ditaati oleh yang dipilih, apalagi yang dipilih itu digaji. Makmum yang memilih imam, tidak ada imam memilih makmum. Sejak 200 tahun lalu, kekuatan bangsa Indonesia membuat dunia miris. Maka perlahan-perlahan, terdesain atau tak sengaja terdapat semacam perjanjian tak tertulis di kalangan kepemimpinan dunia di berbagai bidang: jangan sampai Indonesia menjadi bangsa yang besar, jangan sampai Indonesia menjadi negara yang maju.
cak nun.

Sebab potensi alam dan manusia tak bisa dilawan oleh siapa pun. Kalau diberi peluang, masyarakat setan dan iblis pun kalah unggul dibanding umat manusia Indonesia. Sedangkan orang Indonesia hidup iseng dan sambilan saja dalam melakukan apa pun: setan-setan sudah semakin terpinggirkan dan kehilangan pekerjaan. Kita pun sangat supportif kepada kehendak dunia untuk mengerdilkan bangsa kita. Kita membantu sepenuh hati upaya-upaya untuk mengerdilkan diri kita sendiri. Sehari-hari, dalam pergaulan maupun dalam urusan-urusan konstelatif stuktural, kita sangat rajin menghancurkan siapa pun yang menunjukkan perilaku menuju kemungkinan mencapai kebesaran dan kemajuan bangsa Indonesia.

Setiap orang unggul tak kita akui keunggulannya. Setiap orang hebat kita cari buruknya. Setiap orang berbakat kita kipasi agar bekerja di luar negeri. Setiap orang baik tak akan pernah kita percaya. Setiap orang tulus kita siksa dengan kecurigaan. Setiap orang ikhlas kita bantai dengan fitnah. Setiap akan muncul pemimpin sejati, harus sesegera mungkin kita bikin ranjau untuk menjebak dan menghancurkannya. Kita benar-benar sudah hampir lulus menjadi bangsa yang besar. Dan puncak kebesaran kita adalah kesediaan kita untuk menjadi kerdil.
cak nun.