cak nun.Sejak zaman muda
masih kos dulu, saya memang tidak suka ngasih apa - apa kepada pengemis. Alasan
saya dua: Pertama, saya tidak setuju sehingga tidak suka bahwa manusia kok
mengemis. Kedua, kalau ada orang mengemis kepada saya, selalu saya merasa
terganggu, bahkan terteror. Sejak beberapa puluh meter sebelum saya berpapasan
dengan orang itu, sudah terbersit di hati bahwa saya akan memberinya uang.
Tapi, ketika
mendekat lantas dia menadahkan tangan mengemis kepada saya, terus terang saya
langsung drop kehilangan semangat untuk memberi.
Saya ini berniat
memberi, jangan dimintai. Kalau memberi karena diminta apa hebatnya, tapi kalau
tidak diminta kita tetap memberi: itu baru nikmat.
Tak ada hak saya
untuk tidak suka kepada pengemis atau kepada siapa dan apa pun saja, karena
mereka semua ciptaan Tuhan --mana berani saya tak menyukai karya Allah. Dalam
menjalankan kehidupan ini, untuk perjalanan pribadi, keluarga, grup, kelompok,
komunitas, dan apa pun yang terkait dengan pribadi saya, sungguh-sungguh tidak
boleh ada pengemisan, proposal, iklan, promosi, menawarkan diri, mengajukan
diri, mencalonkan diri, atau apa pun saja yang ada frekuensi kepengemisannya.
Tuhan menghijrahkan
saya diangkut oleh kelompok musik Kiai Kanjeng ke lebih dari 30 kota besar
dunia tanpa didahului melamar, memamerkan diri, "Ini kami, hebat
lho...!", proposal, atau apapun, juga tanpa sponsor. Yang berlangsung
hanya empati nilai, perhubungan kemanusiaan, kemesraan persaudaraan,
persambungan ilmu, penyatuan cinta. Adapun uang, fasilitas, dan maintenance
setiap perjalanan hijrah hanya sertaan otomatik dari gairah kasih sayang
kehidupan.
Kita hidup karena
disuruh hidup oleh Yang Berhak (Haqq). Saya berjalan karena diperkenankan
berjalan oleh yang layak logis legal untuk memperkenankan saya berjalan. Nikah,
hamil, beranak-pinak karena penyatuan cinta, bukan melamar dan dilamar. Saya
tidak sanggup merencanakan dan melamarkan apa-apa atas kehidupan. Tidak ada
karier, tidak ada masa depan, yang ada hanya perkenan: kalau di depan hidung
disodorkan sawah, kita mencangkul, mempelajari tanah, sawah, tanaman, cuaca,
musim.
Tak ada permusuhan,
yang ada hanya kasih sayang yang melahirkan perkenan. Yang berkenan adalah yang
memiliki Haqq untuk memperkenankan. Masuk lumpur Sidoarjo tidak karena membela
rakyat atau siapa pun, tapi karena didatangi mandat tertulis hitam atas putih
legal formal, dan melangkah hanya sebatas koridor pemandatan -- persis
sebagaimana hidup ini sendiri. Kalau telah tiba kaki di batas maut, kematian
sungguh tak pernah menunggu dilamar, sehingga kehidupan pun berlangsung tidak
karena dilamar.
cak nun.
Mungkin karena itu,
saya tidak punya keberanian memaknai kata "doa" sebagai permohonan,
permintaan, mengemis kepada Allah, meskipun Allah sangat mendengarkan orang
yang memohon kepada-Nya. Saya mengambil dimensi lain dari kata "doa".
Da'a dan yad'u itu memanggil, du'a atau da'wah itu panggilan. Da'wah
bermekanisme horizontal: menganjurkan, menyarankan, mengingatkan. Du'a atau doa
itu vertikal.
Tentu saja bukan
posisi kita untuk memanggil Allah. Yang agak mendekati tepat adalah menyeru,
menyapa.... Berdoa adalah menyapa Allah. Kita sapa Dia karena Dia tahu persis
apa yang kita perlukan dari-Nya. "Menyapa" itu statusnya
"memberi", maka lebih potensial untuk dibalas pemberian oleh Allah.
Sedangkan "memohon" itu, ya, "minta", potensi untuk diberi
lebih kecil dibandingkan dengan menyapa. Sebagaimana kalau thawaf saya
beraninya menjauh-jauh dari Ka'bah, karena tahu diri ini kotor tak terkira.
Kalau lancang mendekat-dekat, saya takut Allah memelototiku sebagai manusia tak
tahu diri, GR, merasa bersih, merasa pantas dekat-dekat ke rumah-Nya.
Maka, tak ada nabi
yang pernah punya statemen bahwa dirinya baik.
Adam AS menyebut
dirinya zalim, juga Yunus. Muhammad SAW menangis dalam sujudnya tiap malam
meskipun secara objektif ia hampir tak berdosa, tak memberi hak sedikit pun
dalam hidupnya kepada kerakusan, kesombongan, hedonisme, bahkan kepada
kekayaan. Allah menyediakan baginya gunung emas dan jabatan Nabi yang Raja,
mulkan- Nabiyya, tapi ia memilih menjadi 'abdan-Nabiyya: Nabi yang Jelata.
Muhammad memilih
kemiskinan, meskipun menolak kefakiran. Nabi Khidlir hadir kepadamu dengan
suatu jenis performance yang kau benci, kau usir, kau tolak tadahan tangannya.
Gus Rur Tjurahmalang di masa lalu dalam setahun berbulan-bulan pergi menyusur
jalanan berpakaian pengemis. Allah menyatakan kalimat yang tak perlu
ditafsirkan: "Yang kau buang-buang itu bisa jadi baik bagimu, yang kau
junjung-junjung itu bisa jadi mencelakakanmu."
Tentu saja Muhammad
atau Gus Rur berbeda dengan sindikat pengemis dengan jaringan organisasi luas
yang mengerahkan pasukan-pasukan taipan ke tepian dan perempatan-perempatan
jalan. Berbeda dengan orang-orang dusun yang punya sawah tapi mencari tambahan
penghasilan dengan mengemis. Berbeda dengan berbagai macam jenis dan latar
belakang sosiologis kaum pengemis yang pada suatu hari melahirkan aturan yang
melarang mereka mengemis dan melarang orang memberinya sesuatu.
"Jangan kasih
duit itu pengemis. Tidak mendidik!" kata Fulan.
"Saya ndak bisa
mendidik, bisanya ngasih," kata Polan, "Daripada ngasih enggak,
mendidik juga enggak...."
cak nun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar