cak nun.ANDAIPUN di seluruh
Indonesia tak ada lagi koruptor di segala level dan lini, tak ada kejahatan,
keserakahan, maksiat atau segala macam nilai kacau lainnya, tidak serta-merta
bangsa kita akan menjadi selamat atau apalagi pasti mengalami kemajuan.
Baik buruk, jahat
tak jahat, bukan satu-satunya faktor penentu nasib manusia. Dimensi dasar nilai
hidup manusia adalah baik dan buruk, benar dan salah, indah dan tidak indah,
sebenarnya belum cukup. Masih ada dimensi mendasar lainnya, belum lagi
variabel-variabel dan detailnya. Ada ratusan terminologi.
Ada orang
mengucapkan sesuatu dan melakukannya. Ada orang mengucapkan, tapi tak
melakukan. Ada yang melakukan, tapi tak mengucapkan. Ada yang tak mengucapkan
dan tak melakukan, dengan berbagai variabelnya.
Ada orang yang tahu
sedikit tentang sedikit hal. Ada orang tahu banyak tentang sedikit hal. Ada
orang tahu sedikit tentang banyak hal. Ada yang tahu banyak tentang banyak hal
- dengan berbagai variabelnya.
Ada orang mengkritik
dan memberi jalan keluar. Ada orang mengkritik, tapi tak bisa memberi jalan
keluar. Ada orang memberi jalan keluar tanpa mengkritik. Ada orang tidak
mengkritik dan tidak memberi jalan keluar, dengan berbagai variabelnya.
Ada orang berjuang,
berteriak-teriak, dan melaksanakan perjuangannya. Ada orang berjuang, tidak
berteriak tapi mewujudkan perjuangannya. Ada orang berjuang dan tidak sibuk
mengumumkan di koran bahwa ia berjuang, karena teriakan mengganggu strategi perjuangannya.
Ada orang berteriakteriak tapi tidak berjuang. Ada orang yang tidak
berteriak-teriak dan tidak berjuang, dengan segala variabelnya.
Ada orang yang
mengerti dan mengerti bahwa dia mengerti. Ada orang mengerti tapi tidak
mengerti bahwa dia mengerti. Ada orang yang tidak mengerti tapi mengerti bahwa
dia tidak mengerti. Ada orang yang tidak mengerti dan tidak mengerti bahwa dia
tidak mengerti, dengan segala variabelnya.
Ada orang berdagang
dan memusatkan diri pada pelayanan terhadap pelanggannya. Ada orang berdagang
sibuk pada apa mau dia terhadap pelanggan sehingga lupa apa maunya pelanggan.
Ada pedagang yang tidak peduli-peduli amat pada kemauan pelanggan dan tidak
konsentrasi pada apa mau dia sendiri dalam berdagang, dengan segala variabelnya.
Ada orang perang
dengan berbekal semangat dan keyakinan untuk menang, dengan menghitung cuaca,
medan, dan musuh. Ada orang perang sangat teliti menyelidiki kekuatan cuaca,
medan, dan musuh sehingga tidak sempat menghitung kekuatan dan kelemahan
sendiri. Ada orang perang sibuk membanggakan kehebatannya sehingga merasa tidak
perlu memperhitungkan lawan. Ada orang perang yang atas musuh tak berhitung dan
atas dirinya sendiri juga tak berhitung, dengan segala variabelnya.
Ada orang yang
sangat khusyuk dengan prinsip dan idealismenya dan sangat sungguh-sungguh
memikirkan strategi terapan prinsipnya. Ada orang yang total pegang prinsip
sampai tak punya energi dan waktu untuk memikirkan bagaimana menerapkannya. Ada
orang yang habis usianya untuk tata kelola dan tata terapan sampai tidak ada
prinsip yang tersisa di dalam dirinya. Ada orang yang tak peduli pada prinsip
dan tak sungguh-sungguh melaksanakan apa pun, dengan segala variabelnya.
cak nun.
Ada seorang kiai
nonton tinju bersama santri-santrinya pada suatu Minggu pagi bulan Maret tahun
1974. George Foreman melawan Muhammad Ali di Kinshaha.
Pak kiai bersemangat
dan bersorak-sorai terus-menerus sampai terdengar ke seluruh asrama santri di
pesantrennya. Sebaliknya, para santri hampir tidak ada suaranya dan tampak
bingung air muka mereka. Setiap kali Muhammad Ali ditonjok, Pak Kiai bersorak.
Para santri tidak berani meng-counter meskipun hati mereka ikut sakit
melebihi sakitnya Muhammad Ali ditonjokin Foreman. Ali 32 tahun menantang juara
dunia Foreman 24 tahun.
Mulai ronde 3 Ali
sudah lari ke pojok ring terus dan memang tak diberi peluang oleh Foreman untuk
sedetik saja tak terpojok. Ali minta tolong sama tali ring untuk bergelayutan
dengan punggungnya menghindari pukulan-pukulan Foreman. Para santri rasanya tidak
ridho dunia akhirat melihat dan mendengar Pak Kiai bersorak-sorak terus setiap
kali Ali diberondong pukulan. Sampai akhirnya tiba menit kedua ronde kedelapan,
Ali balas memukul, akumulasi jab, straight, dan hook.
Foreman munting, terputar badannya dan tergeletak TKO.
Badannya belum habis
benar, tapi mental dan hatinya KO lebih dulu karena tak menyangka Ali yang tua
mampu menjatuhkannya. Para santri tak bisa menahan diri lagi. Begitu Foreman ngglimpang,
mereka berteriak-teriak sangat keras. Sebaliknya Pak Kiai langsung pingsan,
karena dua perkara. Pertama karena Foreman tumbang, kedua
karena pekik kegembiraan para santri.
Sejumlah santri
panik dan menjunjung tubuh Pak Kiai, mencoba menyadarkannya. Salah seorang
santri nyeletuk, "Kenapa sih Pak Kiai mbelain
Foreman?" Santri lain menjawab, "Lho, tidak. Pak Kiai sangat fanatik
dan cinta sama Ali. Cuma dia sangka yang Foreman itulah Ali."
Kisah ini
diperuntukkan bagi siapa saja, aktivis, intelektual, pahlawan, pejuang, DPR,
pemerintah, LSM, ulama dan siapa saja: mohon dengan sangat jangan ikuti jejak
Pak Kiai itu.
cak nun.
Hahaha
BalasHapus