About

Ini bukan blognya Emha Ainun Nadjib (cak nun). Hanya sekedar share karya-karya Emha Ainun Nadjib (cak nun)

Kamis, 15 Maret 2012

Rahasiakan Kenabianmu

cak nun.Al-Qiyadah kalah seram dibanding Al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar. Ahmad Mushaddeq, pemimpin aliran itu, menyatakan bahwa dirinya adalah rasul. Sedangkan Al-Hallaj menemukan "Akulah Kebenaran", dengan idiomatik bahwa Kebenaran, al-Haq, adalah Allah itu sendiri.

Perutusan para Wali menemui Siti Jenar untuk memanggil beliau menghadap pengadilan para Wali. Jenar, kabarnya, menjawab: "Syekh Siti Jenar tak ada. Yang ada Allah." Pulang balik, para utusan membawa "diplomasi" antara kedua belah pihak. Jawaban Jenar disampaikan dan utusan balik lagi kepada Jenar membawa kalimat: "Allah dipanggil menghadap para Wali." Jenar menjawab: "Allah tidak ada, yang ada Syekh Siti Jenar."

Proses berlanjut: "Allah dan Syekh Siti Jenar dipanggil menghadap para Wali." "Allah dan Syekh Siti Jenar tak ada, yang ada Syekh Siti Jenar dan Allah"....

Di puncak teater teologi-teosofi ini nanti Jenar dipenggal lehernya.

Wilayah ini memang rawan. Sering saya "nekat" menjawab pertanyaan banyak orang dengan upaya agar berkurang kerawanannya. Misalnya melalui karakterisasi Empat Khalifah:

Abu Bakar as-Shiddiq khalifah pertama itu manusia kultural: ia memandang sesuatu, mendekatinya, mengapresiasinya, belajar memahaminya, melakukan pendekatan kultural untuk mendekati kebenaran dan "menemukan Tuhan".

Umar bin Khattab manusia radikal: ia memerlukan semacam benturan untuk menemukan kebenaran dan menyadari kehadiran Tuhan. Utsman bin Affan manusia timbangan: tawazzun dengan rasio, kalkulasi, simulasi, untuk memperoleh resultan atau sintesis di titik tengah kebenaran Tuhan.

Ali bin Abi Thalib tidak memerlukan ketiga metode itu:kalau pandangan Ali hinggap pada daun, yang tampak olehnya adalah Allah, kalau bunyi menyentuh gendang telinganya yang terdengar olehnya adalah Allah. Ali tidak bisa menemukan apa pun kecuali Allah, karena selain Allah hanya seakan-akan ada-kelak para fisikawan dan biolog menggeremat menjelaskan itu.
Wujud ini, badan ini, fisik ini, besi atau daging dan apa pun, bahkan cahaya: itu bukan benda, melainkan sekadar simptoma yang untuk sementara disepakati sebagai benda. Kalau pakai persepsi linier kita menyimpulkan: bagi Ali gunung adalah Allah, sungai adalah Allah, dedaunan, debu, langit, kecebong dan gathul "adalah" Allah.
 cak nun.

Kita tak berani bilang Ali murtad, penganut Wihdatul Wujud, Manunggaling Kawula lan Gusti. Karena dalam sebuah majelis yang segar, penuh humor namun cerdas, sesudah Rasulullah Muhammad SAW "menguji" ketercerahan akal Ali dengan suatu "drama" komikal yang jenaka namun tak bisa saya kisahkan di sini. Rasulullah menyatakan betapa cerdas dan terbimbingnya akal Ali. Maka, kata Rasul, Ali adalah Babul 'Ilmi, Pintunya Ilmu Pengetahuan. Meskipun kemudian cerah akalnya Ali dituntun Allah juga untuk mengucapkan "pidato balasan": ke manakah langkahmu pergi sesudah kau lewati pintu ilmu, kecuali masuk ke dalam Kota Ilmu. Rasulullahlah kota ilmu itu.

Andaikan saja pengalaman spiritual, penemuan teosofis, dan pandangan teologis dilindungi oleh pelakunya jangan sampai tampil dalam konteks eksistensi, melainkan membumikan dirinya melalui tafsir dan aplikasi sosial. Maka, kalau engkau yakin bahwa engkau nabi, sudahlah, tolonglah saja dunia ini, selamatkanlah manusia, terutama manusia Indonesia yang sudah mencapai puncak kebingungan, keputusasaan, kebebalan, kekosongan, kehilangan-tak penting sama sekali orang mengerti kita nabi atau bukan.

Tentu engkau bebas merdeka menjadi siapa pun, tapi mengalahlah, pilih pekerjaan menolong sajalah dalam peta kehidupan bernegara ini. Bikinlah kesepakatan dengan Tuhan untuk secepat mungkin memusnahkan penjahat-penjahat negara ini yang terus merajalela mengisap darah rakyat dan memboros-boroskan harta alam nusantara.

Umpama engkau menemukan lubuk makna sangat mendalam secara sangat pribadi dari "Manunggaling Kawula lan Gusti", menyatunya hamba dengan Tuhan, umpamanya: rahasiakanlah. Rakyat pusing cari makan dan bayar sekolah anaknya, jangan tambahi persoalan dengan suruh berpikir tentang nabi, Tuhan, Al ini Al itu.

Tafsirkan saja secara sosial. "Manunggaling Kawula lan Gusti" adalah menyatunya Tuhan dengan rakyat di dalam kalbu dan akal sehat para Pemimpin. Lurah, Camat, Bupati, Gubernur, Menteri, Wakil Rakyat, Presiden, tidak akan pernah memisahkan "pernikahan" antara kepentingan rakyatnya dan kasih sayang Tuhan. Mereka tak akan melakukan tindakan yang menyakiti rakyat, karena Tuhan pasti marah. Mereka juga tak akan menyakiti hati Tuhan, karena lambat atau cepat akan menghasilkan pergolakan rakyat.
cak nun.

1 komentar: