cak nun.Al-Qiyadah kalah
seram dibanding Al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar. Ahmad Mushaddeq, pemimpin
aliran itu, menyatakan bahwa dirinya adalah rasul. Sedangkan Al-Hallaj
menemukan "Akulah Kebenaran", dengan idiomatik bahwa Kebenaran,
al-Haq, adalah Allah itu sendiri.
Perutusan para Wali
menemui Siti Jenar untuk memanggil beliau menghadap pengadilan para Wali.
Jenar, kabarnya, menjawab: "Syekh Siti Jenar tak ada. Yang ada
Allah." Pulang balik, para utusan membawa "diplomasi" antara
kedua belah pihak. Jawaban Jenar disampaikan dan utusan balik lagi kepada Jenar
membawa kalimat: "Allah dipanggil menghadap para Wali." Jenar
menjawab: "Allah tidak ada, yang ada Syekh Siti Jenar."
Proses berlanjut:
"Allah dan Syekh Siti Jenar dipanggil menghadap para Wali."
"Allah dan Syekh Siti Jenar tak ada, yang ada Syekh Siti Jenar dan
Allah"....
Di puncak teater
teologi-teosofi ini nanti Jenar dipenggal lehernya.
Wilayah ini memang
rawan. Sering saya "nekat" menjawab pertanyaan banyak orang dengan
upaya agar berkurang kerawanannya. Misalnya melalui karakterisasi Empat
Khalifah:
Abu Bakar as-Shiddiq
khalifah pertama itu manusia kultural: ia memandang sesuatu, mendekatinya,
mengapresiasinya, belajar memahaminya, melakukan pendekatan kultural untuk
mendekati kebenaran dan "menemukan Tuhan".
Umar bin Khattab
manusia radikal: ia memerlukan semacam benturan untuk menemukan kebenaran dan
menyadari kehadiran Tuhan. Utsman bin Affan manusia timbangan: tawazzun dengan
rasio, kalkulasi, simulasi, untuk memperoleh resultan atau sintesis di titik
tengah kebenaran Tuhan.
Ali bin Abi Thalib
tidak memerlukan ketiga metode itu:kalau pandangan Ali hinggap pada daun, yang
tampak olehnya adalah Allah, kalau bunyi menyentuh gendang telinganya yang
terdengar olehnya adalah Allah. Ali tidak bisa menemukan apa pun kecuali Allah,
karena selain Allah hanya seakan-akan ada-kelak para fisikawan dan biolog
menggeremat menjelaskan itu.
Wujud ini, badan
ini, fisik ini, besi atau daging dan apa pun, bahkan cahaya: itu bukan benda,
melainkan sekadar simptoma yang untuk sementara disepakati sebagai benda. Kalau
pakai persepsi linier kita menyimpulkan: bagi Ali gunung adalah Allah, sungai
adalah Allah, dedaunan, debu, langit, kecebong dan gathul "adalah"
Allah.
cak nun.
Kita tak berani
bilang Ali murtad, penganut Wihdatul Wujud, Manunggaling Kawula lan Gusti.
Karena dalam sebuah majelis yang segar, penuh humor namun cerdas, sesudah
Rasulullah Muhammad SAW "menguji" ketercerahan akal Ali dengan suatu
"drama" komikal yang jenaka namun tak bisa saya kisahkan di sini.
Rasulullah menyatakan betapa cerdas dan terbimbingnya akal Ali. Maka, kata
Rasul, Ali adalah Babul 'Ilmi, Pintunya Ilmu Pengetahuan. Meskipun kemudian
cerah akalnya Ali dituntun Allah juga untuk mengucapkan "pidato balasan":
ke manakah langkahmu pergi sesudah kau lewati pintu ilmu, kecuali masuk ke
dalam Kota Ilmu. Rasulullahlah kota ilmu itu.
Andaikan saja
pengalaman spiritual, penemuan teosofis, dan pandangan teologis dilindungi oleh
pelakunya jangan sampai tampil dalam konteks eksistensi, melainkan membumikan
dirinya melalui tafsir dan aplikasi sosial. Maka, kalau engkau yakin bahwa
engkau nabi, sudahlah, tolonglah saja dunia ini, selamatkanlah manusia,
terutama manusia Indonesia yang sudah mencapai puncak kebingungan,
keputusasaan, kebebalan, kekosongan, kehilangan-tak penting sama sekali orang
mengerti kita nabi atau bukan.
Tentu engkau bebas
merdeka menjadi siapa pun, tapi mengalahlah, pilih pekerjaan menolong sajalah
dalam peta kehidupan bernegara ini. Bikinlah kesepakatan dengan Tuhan untuk
secepat mungkin memusnahkan penjahat-penjahat negara ini yang terus merajalela
mengisap darah rakyat dan memboros-boroskan harta alam nusantara.
Umpama engkau
menemukan lubuk makna sangat mendalam secara sangat pribadi dari "Manunggaling
Kawula lan Gusti", menyatunya hamba dengan Tuhan, umpamanya:
rahasiakanlah. Rakyat pusing cari makan dan bayar sekolah anaknya, jangan
tambahi persoalan dengan suruh berpikir tentang nabi, Tuhan, Al ini Al itu.
Tafsirkan saja
secara sosial. "Manunggaling Kawula lan Gusti" adalah menyatunya
Tuhan dengan rakyat di dalam kalbu dan akal sehat para Pemimpin. Lurah, Camat,
Bupati, Gubernur, Menteri, Wakil Rakyat, Presiden, tidak akan pernah memisahkan
"pernikahan" antara kepentingan rakyatnya dan kasih sayang Tuhan.
Mereka tak akan melakukan tindakan yang menyakiti rakyat, karena Tuhan pasti
marah. Mereka juga tak akan menyakiti hati Tuhan, karena lambat atau cepat akan
menghasilkan pergolakan rakyat.
cak nun.
Kaos Dakwah Terbaru
BalasHapus