cak nun.Konsumerisme ialah
keadaan di mana mekanisme konsumsi sudah menjadi bagian yang substansial dari
kehidupan manusia. 'Bagian substansial' maksudnya bagian kehidupan yang
seolah-olah dianggap 'wajib' atau tidak lagi ditinggalkan. Jadi, konsumsi sudah
menjadi 'isme', sudah menjadi atau berlaku sebagai semacam 'agama'.
Keberlangsungan
konsumerisme ditentukan ketika nilai dan potensi kreativitas manusia atau
masyarakat dikapitalisir, dijadikan alat pemenuhan kebutuhan yang
dijualbelikan.
Konsumerisme
sesungguhnya sekaligus merupakan kasus ekonomi, kasus budaya, bahkan bisa
dilatari atau ditujukan untuk proses-proses politik. Oleh karena itu
konsumerisme sebenamya bisa memiliki sisi yang bermacam-macam: ada konsumerisme
dalam bidang pendidikan (sebutlah umpamanya 'konsumerisme etos-etos akademik'),
ada konsumerisme terkandung dalam alam kehidupan beragama (umpamanya ummat
menuntut mubaligh tertentu yang bisa memenuhi selera budaya mereka berdasarkan
situasi sejarah), serta ada berbagai sisi konsumerisme yang lain.
Kita bisa memahami
konsumerisme dari bermacam cara pendekatan. Narnun tidak aneh sama sekali,
bahwa Al-Qur'an sejak semula telah menyediakan semacam cara pandang atau metoda
untuk memahaminya.
Misalnya, dalam
konflik terbuka antara Musa melawan Fir'aun yang didampingi oleh para sihir
bayarannya, diakhiri dengan "duel kekuatan" antara mereka. Lihatlah
Surah Thaahaa ayat 65 hingga 69 saja. Para penyihir sewaan Fir'aun berkata,
"Wahai Musa! engkaulah yang terlebih dahulu melemparkan, ataukah
kami?"
Musa menjawab,
"Silahkan kamu sekalian melemparkan!" Maka tiba-tiba tali-tali dan
tongkat para penyihir itu - terbayang pada mata Musa menjadi ular-ular kecil
yang amat banyak, merayap-rayap ke segala penjuru.
Sehingga Musa merasa
takut di dalam hatinya. Kami (Allah) berkata: "Janganlah kamu takut,
karena sesungguhnya kamulah yang lebih unggul". Lebih benar, mulia.
"Dan lemparlah apa yang ada ditangan kananmu, niscaya ia akan menelan apa
saja yang mereka perbuat.
Sesungguhnya apa
yang mereka perbuat itu adalah merupakan tipu daya sihir belaka. Dan itu tidak
akan menang, dari mana pun, mereka datang".
Allah Maha Mengerti
segala isi waktu. Konteks cerita mengenai Nabi Musa as. Itu tidak terbatas pada
situasisituasi kejahiliyahan jarnan Fir'aun: ia tidak mustahil berlaku bagi
keadaan-keadaan lain di kurun waktu kapan pun, sebelum atau sesudah Fir'aun. Ia
juga bisa berlaku pada diri kita hari ini: karena bukankah bahkan seringkali
kita menjurnpai diri sedang harus belajar "menyebut nama-nama benda"
seperti Adam as, yakni ketika kita harus membenahi kembali
pengertian-pengertian kita tentang nilai, alam, benda, dan segala apapun dalam
kehidupan kita?
cak nun.
Dan siapakah
gerangan Fir'aun? Apakah ia seorang raja yang hidup di abad 20 ini? Apakah ia
suatu konspirasi ekonomi dan bahkan konspirasi politik yang memakai perdagangan
kebudayaannya untuk menyihir golongan-golongan manusia di muka bumi yang memang
hendak mereka jebak dan mereka telan dalam kekuasaannya? Jadi, pertanyaannya
apakah Fir'aun itu semacam Modal besar? Kekuatan atau klik, jaringan ekonomi?
Atau metode iklan-iklannya?
Dan kemudian yang amat
penting ialah siapa gerangan yang sekarang 'wajib' berperan sebagai Musa. Serta
pertanyaan tentang apa yang tergenggam di tangan kanannya.
Bagaimana
menjelaskan secara empirik, pada kasus-kasus modem dewasa ini bahwa "apa
yang mereka perbuat itu tidak lain hanyalah tipu muslihat daya sihir
belaka". Mengapa Allah meyakinkan kepada kita, atau kepada Musa-musa,
bahwa yang tergenggam di tangan kanan kita ini adalah sesuatu yang "lebih
unggul", lebih tinggi, lebih mulia, lebih luhur. Dengan perspektif kefilsafatan
macam apa kita menguraikannya, atau dengan tata aqidah keagamaan yang mana hal
tersebut bisa kita pahami.
Kemudian akhimya
yang paling menjadi adalah konfirmasi dari Allah bahwa "Musa pasti
menang", bahwa "sihir-sihir mereka itu tidak akan menang, dari
manapun datangnya". 'Dari mana pun' itu bisa jugakah berarti pusat-pusat
penjualan film biru, producer-produser kaset yang melemahkan mental masyarakat,
kantor-kantor berita yang memanipulir kenyataan, pusat-pusat modal dan
sebagainya?
Haqul yaqin, daya
giro' ah (membaca realitas) Anda;daya ro'iyah (kepemimpinan) Anda, membimbing
Anda semua untuk mengetahui secara jelas, luas dan mendalam jawaba-jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan di atas. Ada pun yang sernpat tertuliskan di sini,
hanyaiah salah satu kemungkinan syuuraa bainahum di tengah berbagai ilmu yang
diperoleh sendiri oleh sekalian Kaum Muslimin, Insya Allah demikian.
Apa gerangan sihir
itu?
Misalnya, kita mulai
memahaminya dengan kembali melihat-lihat dan meneliti barang-barang yang kita miliki,
barang kita pakai atau yang tersimpan di dalam rumah kita. Dalam penelitian itu
kita ukur, umpamanya, mana benda yang memang wajib kita beli dan wajib kita
memiliki. Mana yang sunnah. Mana yang "sekadar" halal saja. Mana yang
makruh, bahkan akhirnya mana yang haram.
Landasan kriterianva
bisa bermacam-macam. Ambil saa misalnya "Kuluuwasyrobuu, wa laa
tusrifuu" ("Makan dan minumlah, tetapi jangan
berlebih-lebihan"). Sebiji kelebihan, akan memiliki sifat mubadzir, dan
"Innal mubadzdziriina kaanuu ikhwaaanasysyayaathiin ..."
Karena kemubadziran itu sahabat setan, dan kata Allah, setan itu kufur terhadap
Tuhannya.
Kualifikasi
penilaian itu bisa kita perkuat dengan pemahaman terhadap konteks yang lebih
makro dan memperhitungkan sistem hubungan sosial yang luas. Umpamanya, kalau
kita tahu bahwa mayoritas saudara;audara kita masih berada di garis kemiskinan,
maka seberapa layak atau seberapa halal kita membeli sesuatu yang kira-kira
bersifat ironik dan tidak etis dihubungkan dengan kemiskinan saudara-saudara
kita itu.
cak nun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar