About

Ini bukan blognya Emha Ainun Nadjib (cak nun). Hanya sekedar share karya-karya Emha Ainun Nadjib (cak nun)

Kamis, 23 Februari 2012

Peran Narkoba Dalam Pembangunan

cak nun.Di kedua lengan tangan bawah saya bagian dalam terdapat sejumlah goresan kecil-kecil yang kayaknya nggak bisa hilang.Orang yang meliriknya normal kalau menyimpulkan itu bekas luka-luka suntikan narkoba, tanpa bisa menemukan alasan apa pun untuk menggeremeng di dalam hatinya kenapa orang macam saya pasti bebas dari narkoba. Luka-luka itu berasal dari praktik Ilmu Hijamahnya Rasulullah SAW yang di Jakarta terkenal dengan aplikasi nama ”bekam”. Seharusnya ujung jarum ditutul-tutulkan secara sangat hati-hati dan peka sehingga kedalaman tusukan itu tak boleh lebih dari 0,4 mm sebagaimana teknik tusukan dan hisapan lintah.

Tetapi karena pelakunya kecapaian, yang dia lakukan atas tangan saya bukan tutulan, melainkan goresan. Semacam malapraktik kecil-kecilan yang menguntungkan saya karena memperoleh rahmat seumur hidup untuk disangka orang pemakai narkoba. Setiap hari, terutama ketika mandi, selalu terpandang goresan-goresan itu sehingga selalu juga saya ingat narkoba.Tak ada hari saya lewati tanpa ingat narkoba.Dia menjadi teman hatiku sehari-hari,menjadi sahabat dialektika kesadaranku siang dan malam.

Kalau di suatu siang yang panas gerah selintasan angin menerpa badanmu dan mengusap rambutmu, angin itu menjadi bagian dari dirimu. Segala sesuatu yang kau pandang, kau dengar, kau rasakan,kau alami, apalagi memasuki dirimu dan menjadi anasir dalam darahmu, dia menjadi bagian dari dirimu, bagian dari ingatan dan kesadaranmu, bagian dari sejarahmu. Menjadi file hard disk-mu, hidden atau unhidden.

Kau sukai atau kau benci, dia tetap adalah bagian dari kosmologi dan dzat kemakhlukanmu. Soekarno, Soeharto, SBY, Hitler, Iblis, malaikat, apa saja, tak bisa hilang dari sistem komprehensif hidupmu.Semula dia sekadar kita sangka merupakan ”bagian dari” dirimu, suatu saat engkau menemukan dia ”adalah”dirimu. Itulah sebabnya terdapat nasihat ”kuno” tentang kehati-hatian: ”Setiap butir nasi dan tetes air yang memasuki tenggorokanmu, perhatikan asal usul kebenaran dan kebatilannya, posisi halal haramnya.
Sebab engkau sedang mengawali dan memproses takdir bagi anak-anak dan cucu-cucumu.” Ini bukan filsafat teoretis. Ini ilmu dan pengetahuan empiris.Para ilmuwan meneliti tikus yang sakit turunan sejak kakek neneknya: mereka tidak melakukan tindakan kuratif medis untuk menyembuhkan tikus, melainkan mengubah habitatnya, merangsang perubahan perilakunya, tata ruang tempat tinggalnya, pola makan minumnya, memastikan keabsahan asal usul segala konsumsinya. Pada jangka waktu tertentu tikus itu sembuh dan tidak mewariskan sakit yang sama kepada anakanaknya lagi.

Demikian berlangsung sampai generasi berikutnya, kecuali perubahan perilaku dan sejarah konsumsi itu diubah lagi. Dari kasus tikus itu kita temukan betapa terkait erat hubungan antara kondisi seseorang dengan habitat di mana dia hidup.Tidak bisa orang kena narkoba sendirian tanpa habitat yang memang kondusif terhadap kenarkobaannya. Itu tak harus berarti pemakai narkoba selalu lahir dari lingkungan pemakai narkoba, tetapi ada faktor- faktor yang jauh lebih luas dan komprehensif-dialektis.
cak nun.

 

Tradisi konsumsi narkoba sangat bisa terkait dengan pola budaya, cara berpikir, nilai sosial, cara- cara mempertimbangkan sesuatu, kualitas nilai yang dipilih tentang siapa tokoh siapa bukan, siapa duta siapa bukan, termasuk kewaspadaan atau kesembronoan institusional ketika menentukan atau memilih ini dan itu. Bagian dari korek api yang terbakar hanya sumbunya,tetapi tak ada nyala api tanpa bagian-bagian lain dari korek api. Jangan berpikir korek api adalah nyala api ”saja”, jangan berpikir bahwa habitat narkoba hanya pemakai narkoba ”saja”.

Kalau diperluas, jangan berpikir bahwa pelaku korupsi adalah koruptor saja, sebab mereka melakukan korupsi ”berkat” adanya faktor-faktor lain yang komprehensif yang memungkinkannya melakukan korupsi.Tegasnya,kita semua ”menanggung dosa” sistemik dan struktural atas penyalahgunaan obat terlarang, atas korupsi, juga atas munculnya apa yang kemudian terpaksa kita sebut sebagai aliran sesat. Ada dimensi-dimensi sosial di mana kita semua telah melakukan ketidakbertanggungjawaban kolektif atas sejumlah nilai dasar kehidupan bermasyarakat dan bernegara sehingga suburlah ketiga ”narkoba”itu.

Dengan teori habitat itu, tak ada yang mengherankan kenapa lembaga penanggulangan narkoba ”salah pilih” dutanya: api menyala pada sumbu, tapi berasal dari sistem menyeluruh korek api. Oleh karena itu memang diperlukan ekstrakewaspadaan di dalam mempersepsi, menganalisis, dan mengatasinya.

Apalagi kita sedang berada pada habitat alamiah kemanusiaan yang sampai batas tertentu justru sangat potensial untuk lambat atau cepat pasti menghancurkan kemanusiaan kita sampai anak cucu. Misalnya, mari sejenak kita keluar dari rumah tikus itu dan memperhatikan faktor yang lain sama sekali. Misalnya, para ilmuwan itu lebih tertarik pada tikus yang sakit dibanding jutaan tikus lain yang sehat. Ini hukum alam. Sakit lebih menonjol dibandingkan waras.

Kacau lebih menggairahkan dibanding aman.Buruk lebih laku dibandingkan baik. Jahat lebih sensasional dibandingkan mulia.Hancur lebih mudah dipasarkan dibandingkan bangkit. Curang lebih nendang dibandingkan jujur. Bentrok lebih nikmat dipergunjingkan dibandingkan rukun.Chaos lebih nyaman diinformasikan dibandingkan tenteram. Kalau rumus ”orang baik” kalah menarik dan kalah unggul dibandingkan ”orang pernah buruk” yang dipakai oleh birokrasi, lembaga informasi, institusi pengelolaan sosial serta semua kepengurusan kehidupan bangsa kita, sesungguhnya kita sedang menyediakan ruang utama dalam pengelolaan pembangunan sejarah bangsa ini kepada ”orang pernah buruk”,sekadar karena kurang selera atas ”orang baik”. Adalah narkoba nasional yang segera menghancurkan kita semua jika tak segera berhenti menyerahkan negara ini kepada ”orang yang menarik”, bukan kepada ”orang yang mengamankan”.
cak nun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar