cak nun.Seandainya dalam
institusi negara kita pemerintah dan rakyat sudah sama-sama sanggup
melaksanakan ketaatan yang maksimal terhadap hukum, Anda masih boleh
tertawa-tawa geli menyaksikan sejumlah kepahitan di belakangnya.
Pertama, orang yang
merasa nyaman dengan maksimalitas pelaksanaan hukum itu adalah mereka yang
merupakan bagian dari "masyarakat" hukum. Masyarakat hukum adalah
penghuni elite dari peradaban ’modern’, tepatnya masyarakat yang merasa dan amat
meyakini bahwa dirinya modern dan hidup di zaman yang ’terbaik’, yakni
’modern’.
Iseng-iseng saya
pernah menemani 18 penduduk asli Pulau Waikiki, Hawai, melakukan demo ke kantor
gubernuran di negara bagian (Amerika Serikat) Hawai. Mereka menuntut pengembalian
Pulau Waikiki itu dari kepemilikan negara Serikat Amerika kepada mereka.
Sejak ribuan tahun
silam nenek moyang mereka bertempat tinggal dan ’memiliki’ pulau itu
berdasarkan hukum mereka. Sekurang-kurangnya bertempat tinggal (’jam terbang’)
ribuan tahun di suatu hamparan tanah secara filosofis hukum bisa dijadikan
landasan untuk memungkinkan copyright mereka atas tanah itu.
Tetapi, tuntutan
mereka sangat menggelikan bagi akal sehat manusia modern, sangat bodoh secara
kebudayaan modern, dan sangat melawan ’hukum’ yang sudah diberlakukan atas
tanah itu, yakni ’hukum’ negara serikat Amerika.
Jadi mana yang
benar?
Yang mana kebenaran
sejati?
Apakah benarnya
’hukum’ modern itu benar sejati?
Penduduk asli Hawai
itu bisa paralel dengan semua suku di Irian Jaya, teman-teman Dayak di
hutan-hutan Kalimantan, atau kelompok masyarakat mana pun yang hidup di dunia
beralamatkan di RW ’Sejarah’ RT ’Adat’. Sementara pada suatu pagi mereka bangun
tidur thilang-thileng mencari "Di mana tadi sejarah saya? Adat saya".
Kok tiba-tiba di luar pintu itu ada orang-orang berseragam hendak mengursusnya
tentang apa yang disebut "sejarah" baru, "adat" baru, dan
"hukum" baru.
cak nun.
Dalam konteks itu
hukum modern adalah Dajjal bermata satu, bertangan satu, bertelinga satu, berhati
sebelah dan berakal terbelah (growak) di tengah-tengah. Ribuan tahun orang Jawa
menciptakan peradaban tempe dan pada suatu siang tiba-tiba saja tempe adalah
milik orang Jepang, berkat hukum modern. Setengah mati orang Jogja, Solo, dan
Pekalongan membanggakan budaya dan karya batik, sampai mendadak mereka hampir
stroke mendengar bahwa batik adalah hak patennya Malaysia.
Sebuah pabrik kecap
puluhan tahun sukses dan digemari konsumen, suatu hari pimpinannya diseret ke
pengadilan dan dipenjarakan, dituntut oleh salah seorang karyawan yang
membelot, membuat pabrik sendiri, mendaftarkannya ke lembaga hak cipta-
sementara pabrik aslinya tidak pernah mendaftarkan.
Insya Allah suatu
hari nanti saya akan kehilangan nama karena ada teman yang mendaftarkan Emha
Ainun Nadjib sebagai hak cipta dia. Yang kasihan adalah Nabi Muhammad, telanjur
tidak sempat sowan mendaftarkan namanya, sehingga tunggu saatnya beliau tak
lagi diakui sebagai pemilik nama Muhammad. Yang repot kita orang Islam, setiap
membaca syahadat musti kasih royalti kepada pemegang hak cipta nama Muhammad.
Bayangkan, berapa duit harus kita siapkan untuk salat wajib lima kali sehari
saja. Belum lagi ditambah wirid dan shalawat.
Anda jangan lantas
tidak salat demi menghindari kewajiban memberi royalti. Insya Allah Tuhan juga
mafhum atas kekurangan Anda. Sebab, Tuhan sendiri juga berposisi sama dengan
Muhammad dan Anda. Entah kapan Tuhan akan bertamu ke kantor lembaga hak cipta
untuk mendaftarkan paten nama Allah, Yehova, Sang Hyang Wenang, dsb. Tentu
butuh sangat banyak biaya. Andaikan Muhammad tidak telanjur menjadi nabi
terakhir, mungkin diperlukan wahyu baru yang menganjurkan agar umat Islam
ketika menyebut Allah dan Muhammad cukup dalam hati, demi menghindari
pemborosan royalti hak cipta.
Yang paling selamat
adalah manusia yang celat atau pelat lidahnya, yang menyebut Allah dengan Awwoh
dan Muhammad dengan Mamad. Itu pun kalau Awwoh dan Mamad belum didaftarkan ke
lembaga hak cipta.
Ini sekadar iftitah,
pembuka dari pembicaraan yang sangat mungkin bisa panjang tentang kelucuan
hukum. Anda pasti sangat cerdas memahami judul tulisan ini, sesudah ala
kadarnya membaca preambul ini.
Omong nasi musti
omong beras, padi, tanah, daun, tanaman, angin, air, matahari, musim, Tuhan dan
terus terus teruuus sampai tak mungkin Anda menghindar dari satu kata apa pun
tatkala membicarakan satu kata yang lain. Hukum, fikih, moral, akhlaq, takwa,
mahabbah…. Teruuus sampai SBY-JK turun belum akan selesai kita sebut kata demi
kata, demi menguraikan sekadar satu kata.
Belum lagi kalau
saya pancing dengan kalimat bahwa saya termasuk orang yang tidak peduli hukum.
Ada hukum atau tidak, saya tidak akan menyakiti manusia. Ada KUHP atau tidak,
saya tidak akan maling. Ada jaksa, hakim, atau tidak, saya tidak akan mencekik
anak tetangga. Ada polisi, pengacara atau tidak, saya tidak akan memerkosa
wanita maupun kambing betina dan apa siapa saja.
cak nun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar