About

Ini bukan blognya Emha Ainun Nadjib (cak nun). Hanya sekedar share karya-karya Emha Ainun Nadjib (cak nun)

Rabu, 29 Februari 2012

Dasar Teori Tentang Majnun

cak nun.Memang bukan Saridin namanya kalau tidak gila. Dan bukan gilanya Saridin kalau definisinya sama dengan definisi Anda tentang gila. Wong sama saya saja Saridin sering bertengkar soal mana yang gila dan mana yang tidak kok. Padahal saya juga agak gila. Apalagi sama Anda. Anda kan jelas-jelas waras.

Misalnya di jaman Demak bagian akhir-akhir itu saya menyatakan bersyukur bahwa dakwah para Wali semakin produktif. Sunan Ampel yang berfungsi sebagai semacam Ketua MPR, Sunan Kudus sebagai Menko Kesra, Sunan Bonang sebagai Pangab, atau Sunan Kalijaga sebagai Mendikbud, benar-benar menjalankan suatu managemen sejarah dan strategi sosialisasi nilai dengan metoda-metoda yang canggih dan efektif.

Bukan hanya komunitas-komunitas Islam semakin menyebar dan meluas, tapi juga mutu kedalaman orang beribadah semakin menggembirakan. Tapi Saridin menertawakan saya. Dan bagi saya sangat menyakitkan karena tertawanya dilambari aji-aji kedigdayaan batin: begitu suara tertawanya lolos dari terowongan tenggorokan Saridin, pepohonan bergetar-getar, burung-burung beterbangan menjauh, awan-awan dan mega melarikan diri sehingga matahari gemetar tertinggal sendirian di langit.

"Jangan sok kamu Din!" saya berteriak.
Saridin menghentikan tertawanya. Ia menjawab. "Bersyukur ya bersyukur, tapi kalau saya, juga berprihatin."
"Kenapa?" tanya saya.
"Diantara orang-orang yang beribadah kepada Tuhan itu banyak yang majnun!"
"Gila?"
"Ya, Majnun itu artinya ya gila, Majnun!"
"Majnun gimana?"
"Pengertian kita tentang junun atau kegilaan kayaknya berbeda. Bagi saya gitu itu gila, tapi bagi kamu tidak.""Gitu itu gimana yang kamu maksud?"

"Orang berdiri khusyuk dan bersedekap. Matanya konsentrasi ke kiblat. Mulutnya mengucapkan hanya kepada-Mu aku menyembah, dan hanya kepada-Mu aku memohon pertolongan....", tiba-tiba tertawanya meledak lagi, sehingga tanah yang saya pijak terguncang, padahal tidak demikian. "Orang itu tidak hanya kepada Tuhan menyembah. Wong jelas tiap hari dia menyembah para priyayi, para priyagung, para Tumenggung atau Adipati. Minta tolongnya juga kebanyakan tidak kepada Tuhan. Ia lebih banyak tergantung pada atasannya dibanding kepada Tuhan. Meskipun dia tidak menyatakan, tapi terbukti jelas dalam perilaku dia bahwa yang nomor satu bagi hidupnya bukan Tuhan, melainkan penguasa-penguasa lokal dalam hidupnya. Entah penguasa politik, atau penguasa ekonomi. Itu namanya majnun. Tuhan kok dibohongi. Dan caranya membohongi Tuhan dengan kekhusyukan lagi! Kalau otaknya sehat, hal begitu tidak terjadi. Hanya otak gila saja yang memungkinkan hal itu terjadi....."
cak nun. 

Saya melengos. "Ah, kamu ini terlalu idealis. Normal dong kalau manusia punya kelemahan yang demikian. Mana ada manusia yang sempurna. Orang kan boleh berproses. Orang berhak belajar secara bertahap. Pengabdiannya kepada Tuhan diolah dari belum utuh menjadi utuh pada akhirnya. Konsistensi seseorang atas kata-kata yang diucapkannya kan bertahap, tidak bisa langsung seratus persen!"

Hukum Malaikat Buntung, Hukum Iblis Beruntung


cak nun.Seandainya dalam institusi negara kita pemerintah dan rakyat sudah sama-sama sanggup melaksanakan ketaatan yang maksimal terhadap hukum, Anda masih boleh tertawa-tawa geli menyaksikan sejumlah kepahitan di belakangnya.

Pertama, orang yang merasa nyaman dengan maksimalitas pelaksanaan hukum itu adalah mereka yang merupakan bagian dari "masyarakat" hukum. Masyarakat hukum adalah penghuni elite dari peradaban ’modern’, tepatnya masyarakat yang merasa dan amat meyakini bahwa dirinya modern dan hidup di zaman yang ’terbaik’, yakni ’modern’.

Iseng-iseng saya pernah menemani 18 penduduk asli Pulau Waikiki, Hawai, melakukan demo ke kantor gubernuran di negara bagian (Amerika Serikat) Hawai. Mereka menuntut pengembalian Pulau Waikiki itu dari kepemilikan negara Serikat Amerika kepada mereka.

Sejak ribuan tahun silam nenek moyang mereka bertempat tinggal dan ’memiliki’ pulau itu berdasarkan hukum mereka. Sekurang-kurangnya bertempat tinggal (’jam terbang’) ribuan tahun di suatu hamparan tanah secara filosofis hukum bisa dijadikan landasan untuk memungkinkan copyright mereka atas tanah itu.

Tetapi, tuntutan mereka sangat menggelikan bagi akal sehat manusia modern, sangat bodoh secara kebudayaan modern, dan sangat melawan ’hukum’ yang sudah diberlakukan atas tanah itu, yakni ’hukum’ negara serikat Amerika.

Jadi mana yang benar?
Yang mana kebenaran sejati?

Apakah benarnya ’hukum’ modern itu benar sejati?
Penduduk asli Hawai itu bisa paralel dengan semua suku di Irian Jaya, teman-teman Dayak di hutan-hutan Kalimantan, atau kelompok masyarakat mana pun yang hidup di dunia beralamatkan di RW ’Sejarah’ RT ’Adat’. Sementara pada suatu pagi mereka bangun tidur thilang-thileng mencari "Di mana tadi sejarah saya? Adat saya". Kok tiba-tiba di luar pintu itu ada orang-orang berseragam hendak mengursusnya tentang apa yang disebut "sejarah" baru, "adat" baru, dan "hukum" baru.
cak nun.


Selasa, 28 Februari 2012

Nyicil Simpati Pada Setan


cak nun. TULISAN ini saya bikin dengan mencuri waktu di sela-sela forum,menyelinap beberapa momentum untuk bisa menulis. Kerja saya seperti setan: berupaya pandai menggali peluang untuk memasukkan partikel energi dan nilainya ke pori-pori kejiwaan manusia.

Untuk manusia di zaman ini, hal yang dilakukan setan semacam itu bukan pekerjaan sulit karena manusia sudah hampir tidak memiliki pertahanan apa pun terhadap penetrasi setan. Juga karena manusia sudah semakin tidak mengenali dirinya sendiri, apalagi mengenali setan sehingga tidak pernah secara sadar atau instingtif mengetahui apakah ia sedang dipengaruhi oleh setan, apakah sedang berjalan didorong dan dimotivasi oleh setan, apakah ia sedang menyelenggarakan sesuatu yang pengambil keputusan sebenarnya adalah setan di dalam dirinya? ***

Tentu saja setan tidak bisa kita pandang dengan terminologi materi atau jasadiyah.Ia lebih merupakan energi atau gelombang. Sedemikian rupa manusia harus mempelajari dirinya sendiri: dari wujud materiilnya, psiche-nya, roh atau rohaninya. Kita sedang meyakini bahwa kita adalah manusia, adalah makhluk sosial, adalah warga negara Indonesia, adalah bagian dari masyarakat dunia, adalah kaum profesional, adalah ulama, anggota parlemen,pejabat,aktivis LSM,golongan intelektual, atau apa pun.

Tetapi itu semua adalah termin-termin yang sangat materiil, baku, dan elementer. Sesungguhnya kita tidak benar-benar mengenali diri kita pada atau sebagai dimensi-dimensi yang lebih substansial. Kita,pada konteks tertentu, dan itu sangat serius dan merupakan mainstream: mungkin sekali adalah boneka-bonekanya setan. Kita hanya robot yang di-remote control oleh kehendak setan. Kita hanya instrumen dari kemauan-kemauan setan. Anda mungkin menganggap saya main-main retorika.Tidak. Ini sungguh- sungguh. Jangan mengandalkan ilmu pengetahuan baku dari sekolahan dan universitas, sebab penelitianpenelitian di wilayah itu tidak akan sampai pada hipotesis, identifikasi atau invensi tentang Tuhan, malaikat, Iblis, jin, dsb –yang sesungguhnya merupakan wujud nyata seharihari kehidupan kita.

Kita sedang menghabiskan waktu untuk bermain-main menunggu kematian tiba.Mainan kita namanya negara, demokrasi,pemilu,clean governance, pengajian, taushiyah, mau’idhah hasanah, band dan lagu-lagu, tayangan dan sinetron…. Semua itu tidak benar-benar kita pahami bahwa bukanlah kita subjek utamanya. Tentu ini semua harus sangat panjang ditelusuri, dianalisis, dipaparkan, dan disosialisasi.Tulisan ini sekadar membukakan pintu agar manusia mulai mempelajari setan sebagai salah satu metode paling pragmatis dan efektif untuk mengenali dirinya.

Puasa, Setan, dan Gempa



cak nun.PUASA itu melatih "tidak" karena kehidupan sehari-hari kita adalah melampiaskan "ya". Sekurang-kurangnya mengendalikan "ya". Mental manusia lebih berpihak pada "melampiaskan" dibanding "mengendalikan".

Padahal, keselamatan peradaban, keindahan kebudayaan, tata kelola manajemen, kepengurusan negara dan kemasyarakatan lebih mengacu pada pengendalian daripada pelampiasan.

Bahkan idiom "kemerdekaan" kita selama ini sedemikian tidak terkontrol sehingga identik dengan "pelampiasan". Maka Ramadhan menjadi sangat penting untuk melatih "tidak" itu.

Bukan hanya tak makan tak minum tak banyak omong dan lain sebagainya, tapi juga berbagai macam "tidak" yang lain coba dilatihkan selama bulan Ramadhan. Termasuk "tidak" ribut, riuh rendah, gebyar-gemebyar, melonjak-lonjak, berjoget-joget. Puasa mungkin juga merupakan perjalanan memasuki kesunyian, menghayatinya, merenunginya, kemudian menemukan nikmatnya.

Dunia dan Indonesia sudah selalu ribut, dan begitu memasuki Ramadhan: semakin ribut keadaan. Modal keuangan dan alat perniagaan yang membuat apa saja menjadi komoditas semakin jadi pengeras suara dari keributan itu.
  
Penderitaan diributkan bukan oleh orang-orang yang menderita, tetapi oleh saudagar-saudagar penderitaan yang menjualnya sana sini dengan keributan statement, opini, dan asumsi, sambil menempuh strategi jangan sampai ada solusi. Wakil Presiden ribut terus kapan saja dan tentang apa saja. Jakarta ribut ingin menyulap dirinya menjadi Singapura yang metropolitan.

Bagi yang memasuki Ramadhan dengan mencoba menyelinap memasuki bilik "swaraning asepi" atau dunia "kasyful hijab", mungkin mereka mulai belajar membuka telinga batin sehingga terdengar suara-suara setan dan Iblis. Kalau suara Allah, para rasul dan nabi, atau auliya' –anggaplah kita kurang cukup bersih untuk bersentuhan dengan frekuensi itu. Mendengar suara setan saja alhamdulillah rasanya.

Suara setan beberapa waktu yang lalu yang saya dengar adalah ketika ada pentas monolog teater yang berjudul "Mencari Tuhan". Setan itu dengan beberapa rekannya tertawa terkekeh-kekeh terguncang-guncang bahkan sampai badannya terguling-guling.

Salah satu setan bilang: "Kasihaaan deh lu Tuhan….. ratusan abad Kau ciptakan mereka, memasuki abad ke 21 sejak lahirnya Isa Nabi-Mu, dan entah berapa ratus abad yang lalu kau angkat manusia sebagai khalifah-Mu, mandataris-Mu di bumi sejak Adam yang ilmu ekogenetika manusia sudah membuktikannya bahwa ia manusia pertama: tiba-tiba hari ini mereka memberi pernyataan bahwa mereka sedang mencari-Mu….. Lha selama ini Tuhan ke mana kok sampai dicari-cari oleh mandatarisnya sendiri? Lha para mandataris yang hebat-hebat itu selama ini ngeloyor ke mana saja kok baru sekarang mencari Tuhan? Lho setelah 100 abad menjadi mandataris kok baru mencari siapa dan di mana Sang Pemberi Mandatnya?….."

Komunitas setan belang bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh terguncang-guncang sampai basah seluruh badannya oleh lelehan air mata. 

Minggu, 26 Februari 2012

"Islamic Valentine Day"


cak nun.JUDUL ini harus dikasih tanda petik di awal dan akhir, karena sesungguhnya itu istilah ngawur dari sudut apapun kecuali dari sisi iktikad baik tentang cinta kemanusiaan.

Islam bukan kostum drama, sinetron atau tayangan-tayangan teve Ramadhan. Islam itu substansi nilai, juga metodologi. Ia bisa memiliki kesamaan atau perjumpaan dengan berbagai macam substansi nilai dan metodologi lain, baik yang berasal dari "agama" lain, dari ilmu-ilmu sosial modern atau khasanah tradisi. Namun sebagai sebuah keseluruhan entitas, Islam hanya sama dengan Islam.

Bahkan Islam tidak sama dengan tafsir Islam. Tidak sama dengan pandangan pemeluknya yang berbagai-bagai tentang Islam. Islam tidak sama dengan Sunni, Syi’i, Muhammadiyah, NU, Hizbut Tahrir dan apapun saja aplikasi atas tafsir terhadap Islam. Islam yang sebenar-benarnya Islam adalah dan hanyalah Islam yang sejatinya dimaksudkan oleh Allah.

Semua pemeluk Islam berjuang dengan pandangan-pandangannya masing-masing mendekati sejatinya Islam. Sehingga tidak ada satu kelompok pun yang legal dan logis untuk mengklaim bahwa Islam yang benar adalah Islamnya kelompok ini atau itu. Kalau ada teman melakukan perjuangan "islamisasi", "dakwah Islam", "syiar Islam", bahkan perintisan pembentukan "Negara Islam Indonesia" – yang sesungguhnya mereka perjuangkan adalah Islamnya mereka masing-masing.

Dan Islamnya si A si B si C tidak bisa diklaim sebagai sama dengan Islamnya Allah sejatinya Islam. Demikianlah memang hakikat penciptaan Allah atas kehidupan. Sehingga Islam bertamu ke rumahmu tidak untuk memaksamu menerimanya. La ikraha fid-din. Tak ada paksaan dalam Agama, juga tak ada paksaan dalam menafsirkannya. Tafsir populer atas Islam bahkan bisa menggejala sampai ke tingkat pelecehan atas Islam itu sendiri.

Islam bisa hanya disobek-sobek, diambil salah satu sobekannya yang menarik bagi seseorang karena enak dan sesuai dengan seleranya. Islam bisa diperlakukan hanya dengan diambil salah satu unsurnya, demi mengamankan psikologi subyektif seseorang sesudah hidupnya ia penuhi dengan pelanggaran-pelanggaran terhadap Islam.
cak nun.Islam bisa hanya diambil sebagai ikon untuk mengkamuflase kekufuran, kemunafikan, kemalasan pengabdian, korupsi atau keculasan. Islam bisa dipakai untuk menipu diri, diambil satu faktor pragmatisnya saja: yang penting saya sudah tampak tidak kafir, sudah merasa diri bergabung dengan training shalat, sudah kelihatan di mata orang lain bahwa saya bagian dari orang yang mencari sorga, berdzikir, ingat keserakahan diri dan keserakahan itu bisa dihapus dengan beberapa titik air mata di tengah ribuan jamaah yang berpakaian putih-putih bagaikan pasukan Malaikat Jibril.

7 Nguntal 9

Tak Perlu pijakkan kaki ke puncak 9
Agar tak buntu dan terperosok ke lubang 0
Karena segala yang bukan Tuhan
Tak kan sanggup menanggung
cak nun.
Pandang 9 sebagai cakrawala cinta
Junjung 9 di atas kepalamu
Jangan sampai masuk ke mulutmu
Telan 9 rohanikan abadikan ke 8
Sebagaimana ujung penamu
menggoreskan 8
cak nun.
Tak pernah menemukan titik akhirnya
Karena Tak kan pun sampai 7 manusiamu
Karena dungu hingga 9 kau pacu nafsu

Sabtu, 25 Februari 2012

La Ubali, Gak Patheken

cak nun.UMAT kemarin kita omong-omong soal Yaumul Marhamah, hari kasih sayang "versi Islam" yang diambil dari peristiwa mulia dan aspirasi demokrasi-plus Muhammad SAW.

Itu salah satu di antara sangat banyak kejadian sejarah sarat makna yang diizinkan Allah berlangsung pada bulan Ramadhan. Hari kasih sayang versi Rasulullah Muhammad SAW itu mengandung dimensi-dimensi nilai yang tak terkirakan kadar kemuliaan sosialnya, keintiman kasih sayang universalnya, strategi cinta yang beyond kelompok, negara, pemetaan-pemetaan politik, kepercayaan diri yang luar biasa dalam konteks militer dan keterpaksaan dalam permusuhan.

Bahkan, selama Muhammad SAW terlibat dalam sejumlah peperangan karena dimusuhi, strategi yang beliau terapkan bukan "bagaimana memusnahkan musuh setuntas-tuntasnya", tapi "bagaimana meminimalisasi korban sampai sesedikit-sedikitnya kematian pada kedua belah pihak".

Peristiwa Fathu Makkah itu diabadikan oleh Allah di Surat Al-Fath, perkenan dan proklamasi kemenangan fathan mubina, kemenangan sangat nyata. Proklamasi itu dipaparkan dengan klausul-klausul permaafan atas dosa-dosa para pejuang murni, dosa yang lalu maupun yang masa kini, klausul penyempurnaan nikmat, serta klausul pertolongan-pertolongan besar atas masalah-masalah mereka.

Yang menurut saya sangat penting dari Yaumul Marhamah bukanlah kemenangan atas musuh. Maka ia tak disebut Yaumul Fath, hari kemenangan, melainkan hari kasih sayang. Karena pasalnya bukan terutama kemenangan kekuatan manusia atau kelompok atas kelompok atau manusia lain, melainkan kemenangan atas diri sendiri. Kemenangan atas nafsu sendiri.

Kemenangan untuk tidak memusuhi meskipun dimusuhi. Kemenangan untuk tidak membenci orang yang memerangi kita. Kalau terpaksa meladeni peperangan, bela diri atau persaingan, itu dilakukan karena tidak diberi formula dialektika yang lain. Sehingga itu kita lakukan tetap dalam kesadaran kasih sayang kemanusiaan dan kemakhlukan.

Jika "terpaksa" menang, tidak kita nikmati dan rayakan kemenangan atas pihak lain itu karena yang substansial dan mengandung kemuliaan adalah kemenangan atas diri sendiri, kemenangan atas sifat-sifat rendah di dalam diri kita sendiri. Secara "GR" saya merasa sedang menjalani proses sejarah yang sama, atau yang "saya disama-samakan" dengan pengalaman Rasulullah itu. Ampun-ampun bukannya sok, tapi beraninya mengacu hidup ini ya kepada Rasulullah. Jatah hidup beliau 63 tahun, jadi saya tak berani membayangkan akan hidup lebih dari 63 tahun, meskipun itu semua hak Allah.

Tigabelas tahun sudah forum bulanan "Padangbulan" saya di Jombang beserta "anak-anaknya bulanan" juga di 5 wilayah lain: Yogya, Semarang, Surabaya, Malang, termasuk "Kenduri Cinta" di Jakarta. Juga di tempat-tempat lain yang sporadis, di samping keliling tak henti ke seluruh pelosok Nusantara, dengan meninggalkan dunia ekspose, media massa, dst. Itu semua sejak setahun yang lalu saya batasi sampai Ramadhan atau Agustus kemarin.

Tigabelas tahun Rasulullah di Mekkah berjuang dan memperoleh 180 sahabat penyujud Allah. Tigabelas tahun era Padangbulan saya mendapatkan ketidakpahaman publik, fitnah dan sinisme massal, namun alhamdulillah dianugerahi juga sangat banyak teman di setiap sudut negeri yang setia "bercinta" di antara jaringan kami. Khusus Kiai Kanjeng yang dicampakkan Allah ke Vatikan, Helsinki, London, Napoli, Elfayoum, Sydney dan 30 kota lain di dunia: di Tanah Air mereka melahirkan ratusan bahkan ribuan "anak-anak".

Di satu kabupaten Jawa Timur saja lahir lebih 30 anak-anak Kiai Kanjeng. Ribuan anak-anak itu melakukan hal yang sama dengan Kiai Kanjeng: menyebarkan cinta dan keberdayaan sosial, melagukan nomor-nomor Kiai Kanjeng, menyusun sel-sel formula cinta sosial multidimensi, dengan kesadaran tidak merebut siapa pun dari kelompoknya, apa itu NU, Muhammadiyah, PKS, atau apa juga. Jamaah Maiyah hanya serbuk, bukan pohon politik, bukan ormas, bukan parpol, atau kelompok wadag materiil.

cak nun.Ramadhan atau Agustus 2007 kemarin batas gerbang zaman bagi orang-orang kecil macam kami. Konteksnya batas akhir Indonesia akan hancur total atau bangkit. Berbagai dimensi lain terkandung di dalamnya, namun tak mungkin diuraikan dalam tulisan singkat ini. Dari skala kecil, setiap keluarga maiyah hingga peta global yang ada, Morales, Ahmadinejad, dan lain-lain, di dalamnya.

Nabi Membakar Masjid

cak nun.Rasulullah Muhammad s.a.w. pernah memerintahkan sejumlah petugasnya untuk membakar sebuah masjid, karena beliau menemukan bahwa kecenderungan pada “Takmir Masjid” dan komunitas yang melingkupinya membuat masjid itu lebih merupakan tempat kemunafikan dan pemecah-belah kesatuan, dengan berbagai manipulasi dan kemunkaran, sehingga adanya masjid itu menimbulkan mudharat lebih besar dibanding manfaatnya.

Coba kita ambil pelajaran, satu poin saja dulu, dari kejadian itu. Misalnya, tidak bisa kita memahaminya dengan pola pandang modern dengan sistem dan konstitusi kenegaraan seperti yang kita anut sekarang. Di zaman kepemimpinan Rasulullah di Madinah, beliau adalah pusat keadilan, pusat nurani, dan pusat kebenaran, yang dipercaya. Orang percaya sepenuhnya kepada beliau, sehingga beliau diridhai orang banyak untuk menjadi pusat pengambilan keputusan.

Rasulullah bisa disebut diktator atau otoriter andaikata beliau tidak dipercaya rakyat, serta apabila beliau memaksakan suatu keputusan yang umat menilai ada kemunkaran pada keputusan itu. Tetapi belum pernah ada buku sejarah menyebut Muhammad s.a.w. sebagai seorang yang otoriter, karena memang umat percaya dan rela. Padahal secara sistem, konstitusi dan hukum sebagaimana yang kita pahami sekarang, Rasulullah tidak punya hak atau kewenangan untuk mengambil keputusan dan tindakan seperti itu: Rasulullah melanggar HAM dan konstitusi.

Di dunia modern, tidak ada manusia yang bisa dipercaya oleh orang banyak, apalagi dipercaya sampai tingkat, kadar dan cinta masyarakat memercayai Muhammad s.a.w. Kalau orang tidak saling percaya, maka mereka sama-sama berkepentingan untuk membikin aturan, hukum, konstitusi, transaksi, konvensi, atau apa pun namanya dan konteksnya. Orang mendirikan pagar bersama karena dikhawatirkan sewaktu-waktu akan ada, entah siapa, yang melanggar batas. Di zaman ini orang memerlukan perlindungan norma dan hukum, karena sesama manusia tidak ada kemungkinan saling mempercayai dan mempercayakan secara nurani untuk mendapatkan perlindungan satu sama lain.
cak nun.

Kamis, 23 Februari 2012

Peran Narkoba Dalam Pembangunan

cak nun.Di kedua lengan tangan bawah saya bagian dalam terdapat sejumlah goresan kecil-kecil yang kayaknya nggak bisa hilang.Orang yang meliriknya normal kalau menyimpulkan itu bekas luka-luka suntikan narkoba, tanpa bisa menemukan alasan apa pun untuk menggeremeng di dalam hatinya kenapa orang macam saya pasti bebas dari narkoba. Luka-luka itu berasal dari praktik Ilmu Hijamahnya Rasulullah SAW yang di Jakarta terkenal dengan aplikasi nama ”bekam”. Seharusnya ujung jarum ditutul-tutulkan secara sangat hati-hati dan peka sehingga kedalaman tusukan itu tak boleh lebih dari 0,4 mm sebagaimana teknik tusukan dan hisapan lintah.

Tetapi karena pelakunya kecapaian, yang dia lakukan atas tangan saya bukan tutulan, melainkan goresan. Semacam malapraktik kecil-kecilan yang menguntungkan saya karena memperoleh rahmat seumur hidup untuk disangka orang pemakai narkoba. Setiap hari, terutama ketika mandi, selalu terpandang goresan-goresan itu sehingga selalu juga saya ingat narkoba.Tak ada hari saya lewati tanpa ingat narkoba.Dia menjadi teman hatiku sehari-hari,menjadi sahabat dialektika kesadaranku siang dan malam.

Kalau di suatu siang yang panas gerah selintasan angin menerpa badanmu dan mengusap rambutmu, angin itu menjadi bagian dari dirimu. Segala sesuatu yang kau pandang, kau dengar, kau rasakan,kau alami, apalagi memasuki dirimu dan menjadi anasir dalam darahmu, dia menjadi bagian dari dirimu, bagian dari ingatan dan kesadaranmu, bagian dari sejarahmu. Menjadi file hard disk-mu, hidden atau unhidden.

Kau sukai atau kau benci, dia tetap adalah bagian dari kosmologi dan dzat kemakhlukanmu. Soekarno, Soeharto, SBY, Hitler, Iblis, malaikat, apa saja, tak bisa hilang dari sistem komprehensif hidupmu.Semula dia sekadar kita sangka merupakan ”bagian dari” dirimu, suatu saat engkau menemukan dia ”adalah”dirimu. Itulah sebabnya terdapat nasihat ”kuno” tentang kehati-hatian: ”Setiap butir nasi dan tetes air yang memasuki tenggorokanmu, perhatikan asal usul kebenaran dan kebatilannya, posisi halal haramnya.
Sebab engkau sedang mengawali dan memproses takdir bagi anak-anak dan cucu-cucumu.” Ini bukan filsafat teoretis. Ini ilmu dan pengetahuan empiris.Para ilmuwan meneliti tikus yang sakit turunan sejak kakek neneknya: mereka tidak melakukan tindakan kuratif medis untuk menyembuhkan tikus, melainkan mengubah habitatnya, merangsang perubahan perilakunya, tata ruang tempat tinggalnya, pola makan minumnya, memastikan keabsahan asal usul segala konsumsinya. Pada jangka waktu tertentu tikus itu sembuh dan tidak mewariskan sakit yang sama kepada anakanaknya lagi.

Demikian berlangsung sampai generasi berikutnya, kecuali perubahan perilaku dan sejarah konsumsi itu diubah lagi. Dari kasus tikus itu kita temukan betapa terkait erat hubungan antara kondisi seseorang dengan habitat di mana dia hidup.Tidak bisa orang kena narkoba sendirian tanpa habitat yang memang kondusif terhadap kenarkobaannya. Itu tak harus berarti pemakai narkoba selalu lahir dari lingkungan pemakai narkoba, tetapi ada faktor- faktor yang jauh lebih luas dan komprehensif-dialektis.
cak nun.

Kasan Kusen

cak nun.SESUDAH dibantai dengan jenis kekejaman yang sukar dicari tandingannya dalam peradaban umat manusia, penggalan Sayidina Husein putra Fatimah putri Muhammad Rasulullah SAW diarak, diseret dengan kuda sampai sejauh 1.300 kilometer. Wallahua'lam, ada yang bilang dibawa sampai ke Mesir, yang lain bilang ke Syria --sebagaimana ada beberapa makam Sunan Kalijogo di Pulau Jawa-- tapi pasti pembantaian sesama muslim itu terjadi di Karbala.

Orang yang mencintai beliau bisakah menangis hanya dengan mengucurkan air mata, dan bukan darah? Jutaan pencintanya memukul-mukul dada mereka agar terasa derita itu hingga ke jantung dan menggelegak ke lubuk jiwa. Ribuan lainnya membawa cambuk besi atau apa saja yang bisa melukai badan mereka agar kucuran darah itu membuat mereka tidak siapa pun kecuali Imam Husein sendiri. Orang yang mencintai melarutkan eksistensinya, melebur, hilang dirinya, dirinya sirna, menjadi orang yang dicintainya.

Keperihan maut Husein itulah yang menjadi sumber kebesaran jamaah Syii di dunia. Duka yang mendalam atas apa yang dialami cucu Nabi itulah yang membuat kaum Syiah menyerahkan hatinya dengan sangat penuh perasaan kepada komitmen ahlulbait, keluarga Nabi. Sementara di pusat Islam sendiri, Arab Saudi --kerajaan yang didirikan oleh koalisi keraton Abdul Aziz dengan ulama Wahabi-- konsentrasi emosional terhadap ahlulbait sangat dicurigai sebagai gejala syirik yang melahirkan berbagai jenis bid'ah, yakni perilaku-perilaku budaya keagamaan yang diciptakan tidak atas dasar ajaran Nabi sendiri, sehingga dianggap mengotori kemurnian peribadatan Islam.

Semacam ''dendam sejarah'' yang berasal dari tragedi Karbala itulah yang melahirkan soliditas sistem imamah dalam budaya keagamaan kaum Syii. Kepemimpinan dan keumatan dalam Syiah merupakan kohesi horizontal-vertikal yang sangat berbeda vitalitasnya dibandingkan dengan tradisi kaum Sunni. Seandainya di Indonesia orang mengatakan ''Gus Dur dengan 30 juta umat NU-nya'' atau ''Amien Rais dengan 25 juta umat Muhammadiyahnya'' --yang dimaksud adalah kaum Syii, maka tidak ada kekuatan apa pun yang bisa mengalahkan koalisi NU-Muhammadiyah dalam perpolitikan Indonesia.

Kaum Sunni menyebut Abu Bakar, Umar, dan Utsman dulu sebelum Ali. Bahkan tidak secara spesifik menyebut Hasan dan Husein. Orang Syii jengkel kepada ketiga khalifah itu karena menurut versi sejarah mereka, tatkala Nabi Muhammad SAW wafat, yang menguburkan hanya Ali, Aisyah, Fatimah, Abbas, dan seorang lagi pekerja penguburan. Sementara Abu Bakar, Umar, dan Utsman sibuk di Tsaqifah, ''KPU'' yang memproses siapa pemimpin pengganti Nabi --tanpa memedulikan jenazah Nabi.
Bahkan, ketika tengah malam usai penguburan, sejumlah rombongan dipimpin Umar menggedor rumah Ali untuk memaksa menantu Nabi ini menandatangani pengesahan pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah pertama.Sayidina Hasan, kakak Husein, juga tak kalah sialnya. Pagi-pagi, ia disuguhi racun oleh istrinya yang lantas mengaku bahwa itu atas suruhan Muawiyah. Hasan memaafkan istrinya, dan besok pagi sesudah kejahatannya dimaafkan, sang istri kembali menyuguhkan racun, Hasan meminumnya dan menemui ajal.

Dalam kandungan hati orang Syiah, memang tidak banyak orang menderita seperti Rasulullah Muhammad SAW: jenazah beliau belum diurus, orang-orang yang sangat dicintainya sudah ribut memperebutkan jabatan. Nabi unggul dan sangat populer sepanjang sejarah, tapi rumah yang ia tempati bersama Aisyah istrinya hanya seluas 4,80 x 4,62 meter. Makhluk diciptakan oleh Allah berupa cahaya, namanya Nur Muhammad --meskipun secara biologis ia dihadirkan 600 tahun sesudah Isa/Yesus-- namun semasa hidupnya ia menjahit sendiri baju robeknya, mengganjal perut laparnya dengan batu di balik ikat pinggangnya, dan waktu wafat masih punya utang beberapa liter gandum.

Manusia yang paling mencintai Allah dan paling dicintai Allah, namun Allah merelakan keningnya berdarah dilempar batu oleh pembencinya, mengizinkannya mengalami tenung sebelum menerima tiga surah firman-Nya. Tak ada kemewahan dunia apa pun melekat padanya. Bahkan, ia tak sanggup menolong Fatimah putrinya yang beberapa hari bersembunyi telanjang dalam selimut di kamar karena pakaiannya dijual Ali suaminya untuk bisa makan.

Muhammad dan keluarganya sangat disayang, bahkan dicintai dengan gelegak rasa perih, karena derita. Ia pun memilih karakter abdan nabiyya, nabi yang rakyat jelata, dan menolak ditawari Allah menjadi mulkan nabiyya, nabi yang raja diraja.

Allah menawarinya jabatan raja agung dengan kekayaan berupa gunung emas --yang ternyata memang sudah disediakan oleh-Nya, di wilayah antara Madinah dan Mekkah, yang hari ini menjadi cadangan kekayaan Arab Saudi, di samping tambang minyak temuan baru di perbatasan Saudi-Yaman yang hari ini bisa menjadi sumber konflik antara kedua negara. Sebab, jika Yaman menguasai sumber minyak itu, karena daerah geografisnya lebih rendah, maka minyak Saudi di perut bumi akan terserap olehnya.Rasulullah pernah bersabda bahwa kelak kaumnya akan mengalami kekalahan dan hidup dalam kehinaan, karena ''hubbud dunya wa karohiyatul maut'' --kemaruk pada harta dunia dan takut mati.
cak nun.

Selasa, 21 Februari 2012

Gusti Allah tidak "ndeso"

Suatu kali Emha Ainun Nadjib cak nun. ditodong pertanyaan beruntun :
"Cak Nun," kata sang penanya, "misalnya pada waktu bersamaan tiba-tiba sampeyan menghadapi tiga pilihan, yang harus dipilih salah satu: pergi ke masjid untuk shalat Jumat, mengantar pacar berenang, atau mengantar tukang becak miskin ke rumah sakit akibat tabrak lari, mana yang sampeyan pilih?"
Cak Nun menjawab lantang, "Ya nolong orang kecelakaan." "Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?" kejar si penanya. "Ah, mosok Gusti Allah ndeso gitu," jawab Cak Nun.
"Kalau saya memilih shalat Jumat, itu namanya mau masuk surga tidak ngajak-ngajak, " katanya lagi. "Dan lagi belum tentu Tuhan memasukkan ke surga orang yang memperlakukan sembahyang sebagai credit point pribadi."
Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga harus ditolong, Tuhan tidak berada di mesjid, melainkan pada diri orang yang kecelakaan itu. Tuhan mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang.

Kata Tuhan:
Kalau engkau menolong orang sakit, Akulah yang sakit itu.
Kalau engkau menegur orang yang kesepian, Akulah yang kesepian itu.
Kalau engkau memberi makan orang kelaparan, Akulah yang kelaparan itu.
Seraya bertanya balik, Emha berujar, "Kira-kira Tuhan suka yang mana dari tiga orang ini.
Pertama, orang yang shalat lima waktu, membaca al-quran, membangun masjid, tapi korupsi uang negara.


Kedua, orang yang tiap hari berdakwah, shalat, hapal al-quran, menganjurkan hidup sederhana, tapi dia sendiri kaya-raya, pelit, dan mengobarkan semangat permusuhan.
Ketiga, orang yang tidak shalat, tidak membaca al-quran, tapi suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang?
Kalau saya, ucap Cak Nun, memilih orang yang ketiga.
Kalau korupsi uang negara, itu namanya membangun neraka, bukan membangun masjid.
Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya bukan membaca al-quran, tapi menginjak- injaknya.
Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya tidak sembahyang, tapi menginjak Tuhan. Sedang orang yang suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang, itulah orang yang sesungguhnya sembahyang dan membaca al-quran.
cak nun.)

Ekonomi Islam dan Perempuan Misterius


cak nun.“Saya selalu menghindar dari mekanisme ekonomi. Saya tidak tahu ATM. Panitia memberi honor saya itu urusan (akhlak) panitia kepada Tuhan. Itu ekonomi Islam,” kata Cak Nun mengawali pembicaraannya dalam Seminar Strategic Mapping of Islamic Economic System in Indonesian Outlook 2008 dengan subtema “Ekonomi Islam, Budaya Bangsa Dan Kehidupan Masyarakat Yang Lebih Bermartabat”, di Auditorium MM UGM, 17 Desember 2007. Sedari awal Cak Nun sudah menegaskan kepada para peserta yang rata-rata masih mengenyam bangku kuliah alias mahasiswa, dan sebagian lagi praktisi ekonomi Islam, bahwa apa yang disampaikannya ini tidak harus dipercaya, tidak harus diikuti, tetapi itu yang selama ini dialaminya. Lebih-lebih untuk kasus-kasus yang sifatnya personal. “Bisa rusak nanti kalau diterapkan secara nasional/sistem,” seloroh Cak Nun. Maka, mediator yang mempertemukan korban lumpur Sidoardjo dengan Presiden SBY ini pun memberi contoh sangat banyak tentang bagaimana ekonomi itu bekerja pada dirinya dan jaringan kerjanya. Persis seperti pengantar Pak Dumairy, dosen pada Magister Sains dan Doktor Ilmu-Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada, yang memandu ceramah Cak Nun, para peserta diajak menyimak the other side of economy.

Itu pun cak nun. hanya mengajak peserta untuk mencari di mana letak Ekonomi Islam dalam sejumlah pemetaan yang dikedepankannya. Karena sudah tersebut kata martabat dalam subtema itu, Cak Nun coba mengulas makna martabat yang selama ini dipakai tetapi jarang benar-benar dipahami maknanya. “Martabat itu nilai di depan manusia (bersifat horisontal). Ada kaitannya dengan kata tartib/tertib… dan kalau mau bermartbat itu mudah sekali. Kalau anda kaya, kasih uang ke orang maka tinggi martabat anda,” urai Cak Nun.

Tetapi, lebih mendalam dijelaskannya, “kalau berbicara martabat mending bicara derajat. Kalau anda dapat derajat pasti anda dapat martabat. Derajat itu nilai di hadapan Allah.” Cak Nun juga bercerita tentang sejumlah program ekonomi yang dilakukannya dengan melibatkan rakyat kecil. Honor atau prosentase yang diminta olehnya bukan uang, meski berhak, tetapi adalah menyaksikan kinerja mereka bagus dan berkembang. “Ini juga ekonomi Islam,” papar pria yang tak banyak orang tahu kalau dia berdomisili di Yogkayakrta ini sembari menambahkan bahwa sikap seperti ini malah justru membuahkan min haitsu la yahtasib (ketakterduga-dugaan).

Lebih skematis Cak Nun memaparkan tafsir ayat 2-3 surat at-Thalaq, bahwa jika kita setor dua hal maka kita dapat empat hal. Pertama setor taqwa, kita akan memperoleh jalan keluar bagi masalah (yajâۉ„¢al lahu mahrojan) dan rizki yang tak terduga-duga (yarzuqhu min haitsu la yahtasib). Kedua, setor tawakkal (mewakilkan), maka kita mendapatkan fungsi Allah sebagai akunta kita, dan mendapatkan fungsi Allah sebagai perealisasi rencana baik kita. Sedikit memberi contoh, Cak Nun menjelaskan, “taqwa itu tidak sulit-sulit pokoknya Tuhan itu tempat pekewuh. Maksudnya, ketika mau mengambil keputusan ingat, O ada Allah, Nggak enak ah dilihat Allah….”
Allah Kasih Uang Cash
Tentang dua ayat rumus (ekonomi) ini, Cak Nun berbagi cerita nyata. Bahkan dalam pengalamannya, Allah sungguh-sungguh memberi uang cash kepadanya. Namun, semua itu disyarati oleh hati yang ikhlas. Menariknya, hati yang ikhlas itu, dalam perspektif Cak Nun disebut sakinah, suatu istilah yang selama ini digunakan dalam konteks pernikahan. “Sakinah itu artinya sudah selesai. Sudah cukup….”, papar Bapaknya Noe Letto ini.
cak nun.

Senin, 20 Februari 2012

Min Haitsu La Yahtasib

cak nun.Sesungguhnya engkau tak akan pernah sanggup memberi petunjuk kepada siapa yang kau kehendaki untuk mendapatkan petunjuk, melainkan Allah yang Maha Sanggup menghidayahi siapapun saja yang dikehendaki-Nya.Saya mencoba menarik garis dari snapshot keadaan yang sekilas itu kepada sejumlah titik. Pertama, kalau kaum muslimin berbicara tentang kebangkitan Islam, asosiasi utama yang muncul di benak mereka adalah semaraknya tempat-tempat ibadah, membengkaknya komunitas-komunitas religius, meningkatnya akses   orang Islam terhadap struktur sejarah, dan sebagainya.Dengan kata lain, kebangkitan Islam dibayangkan terutama bermula dari kantong-kantong kultur agama. Yang ingin saya catat di situ adalah kenyataan yang berbeda: justru dari tengah dunia yang penuh nafsu, kerakusan, dan kebinatangan lahir tetesan-tetesan uluhiyah. Dari sub-kultur metropolitan, muncul kelahiran baru kesadaran beragama. Dari lingkungan-lingkungan yang selama ini kita ketahui hanya berisi keduniaan, ternyata nongol kerinduan keakhiratan yang lebih mendalam dan lebih dahsyat dibanding yang bisa dirasakan di masjid-masjid.Intensitas kerinduan keakhiratan dari daerah “rawan akhlaq”, baik kultural maupun struktural, itu terjadi justru karena cahaya itu memiliki sifat lebih ekstrem terhadap kegelapan dibanding terhadap ruang yang tak begitu gelap.
 
Kalau Anda melakukan ma-lima dalam waktu lama, kemudian Anda tiba pada kondisi taubah nashuha, maka tangisnya akan lebih mendalam dibanding tangis orang-orang yang tak begitu punya dosa.Mengapa kesadaran keagamaan yang lahir dari wilayah-wilayah macam ini saya katakan di atas sangat bagus jika diucapkan misalnya sebagai khotbah Jum’at Karena, keinsafan keilahian itu mereka temukan dari pengalaman-pengalaman kongkret.Orang-orang semacam ini adalah para pekerja sejarah yang nyata. Mereka adalah pejalan-pejalan struktural, pelaku-pelaku mekanisme kenyataan, yang mengerti persis apa isi dunia, sehingga juga lebih memiliki pemikiran yang strategis dan mendasar jika harus menterjemahkan konversi keagamaannya itu ke dalam aktualisasi realistik.
cak nun.

Mensurabayakan Surabaya


cak nun.Calon kelas menengah Indonesia, anak-anak muda intelektual dari berbagai kampus Surabaya, angkatan muda bernacam segmen 'swasta' yang dimotori oleh Jam'iyah Maiyah, juga sejumlah stake-holders, aktivis birokrasi dan aktivisme sosial, sedang melakukan pendadaran diri melalui wadah Bangbang Wetan, untuk pada saatnya benar-benar siap menjadi "kelas perubah sejarah" Indonesia.
Tahap-tahap sangat penting sedang mereka tempuh.Pertama memastikan mengukuhkan kepribadian dan kediriannya sebagai manusia, sebagai pengolah metoda Agama dan ilmu-ilmu mutakhir, sebagai rakyat Indonesia. Rakyat berasal dari kata ro'iyah = kepemimpinan. Rakyat bukan kawula atau abdi. Rakyat adalah pemegang rohani kepemimpinan yang dipatuhi oleh Pemerintah dalam konteks dan skala Negara. Pemerintah adalah abdi atau kawula, yang dilantik oleh otoritas kepemimpinan rakyat, dikasih tempat bekerja memenuhi amanat rakyat, diberi upah, fasilitas dan berbagai akses untuk mempermudah pekerjaan kerakyatan.
Kalau pinjam filosofi "Gundhul Pacul": pemerintah meletakkan "bakul" kesejahteraan rakyat diatas kepalanya. Derajat Pemerintah ada di bawah maqam ro'iyah. Tugas mereka mengolah modal kekayaan Negara untuk diantarkan kepada rakyat berupa kesejahteraanlahir batin. Demokrasi adalah salah satu jenis kendaraan untuk mengantarkan kesejahteraan itu.

Pemerintah dilarang "gembelengan": main-main, sok kuasa, lupa hakikat demokrasi dan ro'iyah, merasa diri di atas rakyat dan lupa bahwa rakyat bisa hidup tanpa Pemerintah sementara Pemerintah tak bisa ada tanpa rakyat.Kalau Pemerintah "gembelengan" maka "wakul ngglimpang segane dadi sak-latar". Kekayaan negara tercecer-cecer mubazir, dikuasai maling dan kaum serakah yang derajatnya sama dengan ayam yang nothol-nothol nasi berceceran.
Jangan lupa juga, seorang pejabat, dari Presiden sampai Gubernur Bupati Walikota, yang gembelengan: dalam teori ekogenetik -- akan menyusahkan anak cucunya, yang menanggung "walat" adalah seluruh bagian dari ekosistem dan kekeluargaannya.
Lihatlah apa yang kurang pada putra putri Pak Harto: harta benda, kekayaan apa saja, kecantikan kebagusan -- tapi apa yang mereka alami dari hari ke hari. Orang biasa menyebut hal semacam itu dengan kata 'kuwalat', atau & 'hukum karma'.Secara ilmiah itu bisa dianalisis, meskipun tidak tepat betul, sebagai fenomena ekogenetik, dengan variable sebut saja eko-sistemik pada suatu skala, atau eko-sosiologis. Rute waktunya bisa harian, mingguan, bulanan, tahunan, dasawarsa, abad, millennium dst. Kuwalat itu pastiterjadi, kalau dalam idiomatik Islam: karena ada sunnatullah yang namanya tawazzun: penyeimbangan yang konsisten dan terus-menerus.
Kenapa Surabaya yang budayanya egaliter, cukup jauh dari feodalisme Jawa, demokratis, bahkan punya gen sebagai pelahir manusia-manusia Kota Pahlawan: sekarang misalnya -- Persebaya-nya terpuruk dan cara penanganan pasca dibakarnya Pasar Turi justru mencerminkan karakter yang sama sekali bertentangan dengan semangat demokrasi, watakegaliter, budaya breh, opo anane dan sangat memalukan jika dilihat dari identitasnyasebagai Kota Pahlawan? 
cak nun.

Minggu, 19 Februari 2012

Seribu Masjid Satu Jumlahnya

Satu
cak nun.
 Masjid itu dua macamnya
Satu ruh, lainnya badan
Satu di atas tanah berdiri
Lainnya bersemayam di hati

Tak boleh hilang salah satunyaa
Kalau ruh ditindas, masjid hanya batu
Kalau badan tak didirikan, masjid hanya hantu
Masing-masing kepada Tuhan tak bisa bertamu


Dua
Masjid selalu dua macamnya
Satu terbuat dari bata dan logam
Lainnya tak terperi
Karena sejati


Tiga

Masjid batu bata
Berdiri di mana-mana
Masjid sejati tak menentu tempat tinggalnya
Timbul tenggelam antara ada dan tiada

Mungkin di hati kita
Di dalam jiwa, di pusat sukma
Membisikkannama Allah ta’ala
Kita diajari mengenali-Nya

Di dalam masjid batu bata
Kita melangkah, kemudian bersujud
Perlahan-lahan memasuki masjid sunyi jiwa
Beriktikaf, di jagat tanpa bentuk tanpa warna


Empat

Sangat mahal biaya masjid badan
Padahal temboknya berlumut karena hujan
Adapun masjid ruh kita beli dengan ketakjuban
Tak bisa lapuk karena asma-Nya kita zikirkan

Masjid badan gmpang binasa
Matahari mengelupas warnanya
Ketika datang badai, beterbangan gentingnya
Oleh gempa ambruk dindingnya
Masjid ruh mengabadi
Pisau tak sanggup menikamnya
Senapan tak bisa membidiknya
Politik tak mampu memenjarakannya
cak nun.

Akan kemanakah

akan ke manakah angin melayang
tatkala turun senja nan muram
pada siapa lagu kuangankan
kelam dalam kabut rindu tertahan
datanglah engkau berbaring di sisiku
turun dan berbisik tepat di sampingku 
cak nun.
belenggulah seluruh tubuh dan sukmaku
kuingin menjerit dalam pelukanmu
akan kemanakah berarak awan
bagi siapa mata kupejamkan
pecah bulan dalam ombak lautan
dahan-dahan di hati berguguran

Sabtu, 18 Februari 2012

Islam Adalah

cak nun.
Bila sebuah batu tergeletak dijalan
Dan ia membahayakan pemakai jalan
Anda memungutnya, dan mencari seseorang untuk membahas
Apa yang dapat kita perbuat agar batu tersebut bermanfaat.
Itulah Islam

Islam adalah
untuk menjaga kesuburan tiap sudut tanah
Untuk mengagumi gunung dan laut yang luas,
Atau sekedar untuk menyiram tanaman,
Untuk berenang dalam air sambil bersyukur kepada Allah
Atau untuk menghirup udara dengan kerinduan untuk bertemu dengan Allah

Islam adalah, Bila ada satu mahkluk sedang kelaparan
Walau ia hanya seekor anjing.
Anda merasa tidak enak karena kenyang seorang diri
Maka Anda lalu belajar untuk merasakan lapar,
Sebelum anda merasa layak disebut sebagai saudara oleh orang-orang lapar

Islam adalah,
Ketika seseorang merasa haus
Bahkan bila ia adalah orang yang akan membunuh anda
Anda merasakan kehausannya
Dan berbagi air anda dengannya

Islam adalah,
Ketika anda melihat seseorang dipinggirkan dan merasa sendirian
Anda menghampirinya dan mengucapkan salam kepadanya cak nun.

Tahajud Cinta

Mahaanggun Tuhan yang menciptakan hanya kebaikan
Mahaagung ia yang mustahil menganugerahkan keburukan

Apakah yang menyelubungi kehidupan ini selain cahaya
Kegelapan hanyalah ketika taburan cahaya takditerima

Kecuali kesucian tidaklah Tuhan berikan kepada kita
Kotoran adalah kesucian yang hakikatnya tak dipelihara 

Katakan kepadaku adakah neraka itu kufur dan durhaka

Sedang bagi keadilan hukum ia menyediakan dirinya
cak nun.
Ke mana pun memandang yang tampak ialah kebenaran
Kebatilan hanyalah kebenaran yang tak diberi ruang

Mahaanggun Tuhan yang menciptakan hanya kebaikan
Suapi ia makanan agar tak lapar dan berwajah keburukan

Tuhan kekasihku tak mengajari apa pun kecuali cinta
Kebencian tak ada kecuali cinta kau lukai hatinya

Profil Emha Ainun Nadjib



Nama: EMHA AINUN NAJIB (CAK NUN)
Lahir: Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953
Agama: Islam
Isteri: Novia Kolopaking
Pendidikan:
- SD, Jombang (1965)
- SMP Muhammadiyah, Yogyakarta (1968)
- SMA Muhammadiyah, Yogyakarta (1971)
- Pondok Pesantren Modern Gontor
- FE di Fakultas Filsafat UGM (tidak tamat)
Karir:
- Pengasuh Ruang Sastra di harian Masa Kini, Yogyakarta (1970)
- Wartawan/Redaktur di harian Masa Kini, Yogyakarta (1973-1976)
- Pemimpin Teater Dinasti (Yogyakarta)
- Pemimpin Grup musik Kyai Kanjeng
- Penulis puisi dan kolumnis di beberapa media
Karya Seni Teater:
• Geger Wong Ngoyak Macan (1989, tentang pemerintahan ‘Raja’ Soeharto),
• Patung Kekasih (1989, tentang pengkultusan),
• Keajaiban Lik Par (1980, tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern),
• Mas Dukun (1982, tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern).
• Santri-Santri Khidhir (1990, bersama Teater Salahudin di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, serta 35.000 penonton di alun-alun madiun),
• Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya dan Makassar),
• Kiai Sableng dan Baginda Faruq (1993).
• Perahu Retak (1992).
Buku Puisi:
• “M” Frustasi (1976),
• Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978),
• Sajak-Sajak Cinta (1978),
• Nyanyian Gelandangan (1982),
• 99 Untuk Tuhanku (1983),
• Suluk Pesisiran (1989),
• Lautan Jilbab (1989),
• Seribu Masjid Satu Jumlahnya ( 1990),
• Cahaya Maha Cahaya (1991),
• Sesobek Buku Harian Indonesia (1993),
• Abacadabra (1994),
• Syair Amaul Husna (1994)
Buku Essai:
• Dari Pojok Sejarah (1985),
• Sastra Yang Membebaskan (1985)
• Secangkir Kopi Jon Pakir (1990),
• Markesot Bertutur (1993),
• Markesot Bertutur Lagi (1994),
• Opini Plesetan (1996),
• Gerakan Punakawan (1994),
• Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996),
• Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya (1994),
• Slilit Sang Kiai (1991),
• Sudrun Gugat (1994),
• Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1995),
• Bola- Bola Kultural (1996),
• Budaya Tanding (1995),
• Titik Nadir Demokrasi (1995),
• Tuhanpun Berpuasa (1996),
• Demokrasi Tolol Versi Saridin (1997)
• Kita Pilih Barokah atau Azab Allah (1997)
• Iblis Nusantara Dajjal Dunia (1997),
• 2,5 Jam Bersama Soeharto (1998),
• Mati Ketawa Cara Refotnasi (1998)
• Kiai Kocar Kacir (1998)
• Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan (1998)
• Keranjang Sampah (1998) Ikrar Husnul Khatimah (1999)
• Jogja Indonesia Pulang Pergi (2000),
• Ibu Tamparlah Mulut Anakmu (2000),
• Menelusuri Titik Keimanan (2001),
• Hikmah Puasa 1 & 2 (2001),
• Segitiga Cinta (2001),
• “Kitab Ketentraman” (2001),
• “Trilogi Kumpulan Puisi” (2001),
• “Tahajjud Cinta” (2003),
• “Ensiklopedia Pemikiran Cak Nun” (2003),
• Folklore Madura (2005),
• Puasa ya Puasa (2005),
• Kerajaan Indonesia (2006, kumpulan wawancara),
• Kafir Liberal (2006)
• Jalan Sunyi EMHA (Ian L. Betts, Juni 2006)

Emha Ainun Nadjib Kyai Kanjeng Sang Pelayan Budayawan Emha Ainun Nadjib, kelahiran Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953, ini seorang pelayan. Suami Novia Kolopaking dan pimpinan Grup Musik Kyai Kanjeng, yang dipanggil akrab Cak Nun, itu memang dalam berbagai kegiatannya, lebih bersifat melayani yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik dan sinergi ekonomi. Semua kegiatan pelayannya ingin menumbuhkan potensialitas rakyat. Bersama Grup Musik Kiai Kanjeng, Cak Nun rata-rata 10-15 kali per bulan berkeliling ke berbagai wilayah nusantara, dengan acara massal yang umumnya dilakukan di area luar gedung. Di samping itu, secara rutin (bulanan) bersama komunitas Masyarakat Padang Bulan, aktif mengadakan pertemuan sosial melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat. Dalam berbagai forum komunitas Masyarakat Padang Bulan, itu pembicaraan mengenai pluralisme sering muncul. Berkali-kali Cak Nun yang menolak dipanggil kiai itu meluruskan pemahaman mengenai konsep yang ia sebut sebagai manajemen keberagaman itu. Dia selalu berusaha meluruskan berbagai salah paham mengenai suatu hal, baik kesalahan makna etimologi maupun makna kontekstual.